Pendidikan Agama Kristen Sebagai Tugas Panggilan Gereja
Pengajaran memang tidak dititikberatkan pada hanya salah
satu tugas panggilan gereja (bersekutu, bersaksi dan melayani), sebab berbicara mengenai pengajaran sebenarnya
mencakup ketiga tugas panggilan gereja tersebut. Setiap tugas panggilan gereja sesungguhnya
haruslah mengandung unsur pengajaran. Setiap persekutuan, pelayanan serta
kesaksian yang dilakukan, mengajarkan kepada setiap anggotanya bagaimana
kehidupan sesungguhnya dari gereja. Dengan kata lain, pengajaran ada dalam
persekutuan, pelayanan serta kesaksian gereja Tuhan.
Gereja ditugaskan untuk mengajarkan kepada semua bangsa
segala sesuatu yang telah Yesus perintahkan (Mat. 28:18-20). Pengajaran yang
dilakukan gereja haruslah menyebabkan pengetahuan, pengertian serta perubahan
untuk mencapai kedewasaan penuh dalam Kristus (Ef. 4:11-16). Kristus adalah
Guru Agung, Dia adalah teladan yang sempurna dalam segala bentuk pelayanan
termasuk di dalamnya mengajar, sebab Dia sendiri melakukan apa yang Ia ajarkan
dan apa yang Ia ajarkan, itu pula yang Ia lakukan. Penulis Didakhè mengatakan dengan tajam, bahwa setiap nabi yang tidak
melakukan kebenaran yang ia ajarkan adalah nabi palsu (11:10).
Gereja sebagai persekutuan yang organis, fungsinya
mencakup penyusunan pengajaran (didache)
yang berasal dari pemberitaan (kerygma)
yang dasariah. Ini merupakan bentuk kesadaran gereja atas pengutusannya. Lebih
lanjut Cully menjelaskan bahwa makna pemberitaan itu menyangkut keseluruhan
perbuatan-perbuatan Allah yang besar dalam melawat dan menebus umatNya.
Pemberitaan ini menghasilkan pengajaran, dengan kata lain pengajaran bersumber
dari pemberitaan, sehingga pengajaran tidak bisa dipisahkan dari kerygma. Apabila hal itu terjadi maka
pengajaran itu cenderung menyimpang.[1]
Pengajaran dibutuhkan untuk memelihara hasil-hasil penginjilan sehingga semakin
hari semakin menuju pada kedewasaan rohani.[2]
Bagaimana gereja mengajar menurut penjelasan Cully, dapat
di uraikan sebagai berikut:
1) Gereja
mengajar melalui ibadah bersama;
2) Gereja
mengajar melalui perayaan kalender hari-hari raya gerejawi;
3) Gereja
mengajar melalui hubungan-hubungan yang ada antara orang dewasa dan anak-anak
di gereja;
4) Gereja
mengajar melalui sekolah gereja;
5) Gereja
mengajar melalui partisipasi anak-anak dan orang dewasa dalam keseluruhan
kehidupan umat Kristen;
6) Gereja
mengajar melalui partisipasi keluarga-keluarga dalam persekutuan yang beribadah.
Semuanya itu
menunjukkan pengajaran terjadi dalam persekutuan dan
menuntut adanya keterlibatan aktif dari seluruh anggota gereja tanpa
terkecuali, dari anak-anak sampai orang dewasa. Kegiatan mengajar oleh gereja
tidak boleh berhenti, melainkan harus terus menerus dilakukan dari generasi ke
generasi (Ul. 6:4-9). Daniel Nuhamara secara eksplisit mengatakan bahwa pengajaran adalah bagian
dari pendidikan.[3]
Sejalan dengan itu, Horace Bushnell sebagaimana yang dicatat Boehlke dalam
bukunya, menyebutkan orang tua, jemaat sendiri, pendeta dan anak-anak sebagai
pengajar sedangkan pelajarnya yaitu kaum muda, orang tua dan warga jemaat.
Berkaitan dengan tugas ini, maka kita mengenal Pendidikan
Agama Kristen (PAK). Istilah ini berasal dari bahasa Inggris Christian Religious Education, yang oleh
beberapa ahli didefinisikan sebagai berikut:
a. Hieronimus
(345-420)
PAK adalah pendidikan
yang bertujuan untuk mendidik “jiwa” sehingga menjadi bait Tuhan. “Haruslah
kamu sempurna sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna” (Mat. 5:48).[4]
b. Augustinus
(345-430)
PAK adalah pendidikan
yang bertujuan menghantar para pelajarnya untuk bertumbuh dalam kehidupan
rohani, terbuka dengan Firman Tuhan dan memperoleh pengetahuan akan
perbuatan-perbuatan Allah melalui Alkitab dan bacaan lain. Semuanya itu untuk
memperoleh hikmat yang dari Allah sendiri.[5]
c. Martin
Luther (1483-1548)
PAK adalah pendidikan
yang melibatkan semua warga jemaat khususnya kaum muda, agar bisa belajar secara teratur
dan tertib sehingga sadar akan dosa dan kemerdekaan yang Allah kerjakan melalui
Yesus Kristus. Disamping itu memperlengkapi mereka dengan berbagai sumber iman
sehingga mampu mengambil bagian secara bertanggung jawab dalam pelayanan
terhadap masyarakat,
negara dan gereja.[6]
d. Yohanes
Calvin (1509-1664)
PAK adalah pendidikan
gereja yang bertujuan untuk mendewasakan umat Allah. Berkaitan dengan hal ini,
Calvin mengutip tulisan Paulus dalam Efesus 4: 10 dyb.[7]
e. E.G.
Homrighausen (1955)
PAK adalah pendidikan
yang melaluinya “segala pelajar, tua dan
muda memasuki persekutuan iman yang hidup dengan Tuhan sendiri dan oleh
dan dalam Dia mereka terhisap pula pada persekutuan jemaat-Nya yang mengakui
dan mempermuliakan Nama-Nya di segala waktu dan tempat”.[8]
f. Clement
Suleeman/ Lee Sian Hui (1980)
PAK adalah pelayanan
gerejawi dalam “mendidik anggota dan calon anggotanya untuk hidup dalam
kehidupan Kristen”.[9]
Dari pengertian beberapa ahli di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa pusat Pendidikan Agama Kristen adalah Allah sendiri dengan kedewasaan
iman jemaat-Nya sebagai tujuannya. Para pelajar PAK sendiri, pada dasarnya para
ahli di atas setuju bahwa semua warga jemaat adalah pelajar, kendatipun Marthin
Luther menekankan kekhususan dari kaum muda. Sejalan dengan tugas ini, maka
dapatlah dimengerti bahwa di mana gereja ada, disitu pula gereja melaksanakan
tugas mengajar ini. Sehingga bisa dikatakan PAK ada dimana gereja ada yakni di
rumah/keluarga, di sekolah, juga di gereja yang dalam pengertian gereja lokal.
Dalam penerapannya, setiap warga gereja berapapun usianya
berhak mendapatkan pendidikan agama Kristen. Pertumbuhan dan perkembangan
manusia baik fisik, psikis, sosial, emosional dan kerohanian, turut memengaruhi
daya tangkap, cara berpikir, tingkah laku dan kebutuhan-kebutuhan manusia itu
sendiri, termasuk di dalamnya kebutuhan akan pendidikan. Bagi anak-anak dan
orang muda, pendidikan yang mereka terima yaitu untuk menyiapkan mereka menuju
kehidupan dewasa, sedangkan pendidikan yang diterima orang dewasa yaitu untuk
menolong mereka mengembangkan potensi dalam memecahkan masalah-masalah pribadi
dan sosial.[10]
Perbedaan kemampuan dan kebutuhan dari tingkat usia
inilah yang menuntut adanya perhatian khusus oleh gereja. Sehingga dalam
pelaksanaannya, kita mengenal berbagai kategori dalam PAK yakni PAK untuk
anak-anak (usia 0-11 tahun), PAK untuk Remaja (usia 12-17 tahun), dan PAK untuk
orang dewasa (usia 18 tahun ke atas). Bahkan dalam PAK untuk orang dewasa masih
juga dibagi dalam 3 kelompok yakni kelompok dewasa muda (usia 18-34 tahun),
dewasa menengah (usia 35-60 tahun) dan dewasa lanjut usia (usia 60 tahun ke
atas). Di samping PAK untuk orang dewasa, ada juga PAK dalam keluarga. Setiap
kategori usia membutuhkan pendekatan pendidikan berdasarkan ciri khas dari
perkembangannya.
[1] Iris Cully, Dinamika Pendidikan Kristen, terjemahan P.
Siahaan dan Stephen Suleeman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), h. 30-31.
[2] Ernest Petty, Berkhotbah & Mengajar, (Malang:
Gandum Mas), h. 158.
[3] Daniel Nuhamara, PAK (Pendidikan Agama Kristen) Dewasa, (Bandung: Jurnal
Info Media, 2008),
h. 12.
[4] Robert Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Prakten
Pendidikan Agama Kristen dari Plato Sampai Ig. Loyola, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2011), h. 111.
[5] Ibid., h. 128.
[6] Ibid., h. 342.
[7] Yohanes Calvin, Institutio Pengajaran Agama Kristen, diseleksi
oleh Th. Van den End, terjemahan Ny. Winarsih da J.S. Aritonang, Arifin dan Th.
Van den End, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), h. 230.
[8] E.G. Homrighausen &
I.H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), h. 26.
[9] Clement Suleeman di dalam
Andar Ismail, Ajarlah Mereka Melakukan –
Kumpulan Karangan Seputar Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2003), h. 6-7.
[10] Daniel Nuhamara, PAK (Pendidikan Agama Kristen) Dewasa, h.
13.