Laman

Rabu, 30 November 2011

Sejarah Katekese Gerejawi


teman-teman seperjuanganku di STAKN Manado ^_^
SEJARAH KATEKESE GEREJAWI

A.    Pada waktu Perjanjian Baru
Pada permulaan periode ini katekese gerejawi masih sangat sederhana. Ia belum mengandung semua unsur tradisional dengan lengkap, seperti yang kita kenal pada waktu ini. Unsur credo (= pengakuan iman) umpamanya tidak lebih panjang daripada pengakuan, bahwa “Yesus adalah Tuhan”.[1]
Baru kemudian timbul unsur-unsur lain, seperti: “Ia telah datang di dalam daging” (1 Yoh 4:2; 2 Yoh 7), “Ia adalah Anak Allah” (1 Yoh 4:15), “Ia telah mati, dikuburkan dan pada hari yang ketiga telah dibangkitkan kembali” (Rm 4:25 dyb; 1 Kor 15:3-4; 2 Tim 2:8), “Ia telah terangkat ke dalam kemuliaan” (1 Tim 3:16), “Ia duduk di sebelah kanan Allah” (Ibr 12:12), “Ia akan mengahakimi orang-orang yang hidup dan yang mati” (2 Tim 4:1). Dengan jalan demikian lama-kelamaan timbullah rumusan-rumusan pengakuan yang agak panjang dan lengkap. Salah satu di antaranya ialah 1 Timotius 3:16.
Di samping pengakuan-iman bimbingan (= pengajaran) etihis mengambil tempat yang penting dalam katekese Jemaat-Jemaat Purba. Seluruh paraenese dalam Perjanjian Baru adalah bukti yang jelas dari hal itu. Salah satu dari paraenese-paraenese itu ialah Ibrani 6:1-2.
Juga doa merupakan salah satu unsur penting dari katekese Jemaat-Jemaat Purba. Hal itu antara lain nyata dari bentuk yang tetap dari doa Bapa Kami dalam Matius 6:9-15 dan Lukas 11:2-4. Mula-mula katekese Jemaat-Jemaat Purba ini rupanya sangat sederhana. Kadang-kadang hanya beberapa jam saja. Dalam Kisah Para Rasul kita berulang-ulang membaca, bahwa baptisan segera dilayani, sesudah pemberitaan Firman dari para rasul.
-          Salah satu contoh yang paling jelas dari hal ini ialah Kis 2:41: “Mereka yang menerima perkataannya (= perkataan Petrus) member diri mereka dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah menjadi kira-kira tigaribu jiwa.”
-          Juga kepala penjara di Filipi segera member dirinya dibaptis bersama-sama mereka dengan keluarganya (Kis 16:33).
-          Demikian pula kepada perbendaharaan Sri Kandake (= ratu Etiopia): ia segera dibaptis, sesudah ia memintanya (Kis 8:36, 38).

B.      Dalam abad-abad pertama
Kemudian, kira-kira pada akhir abad pertama, bahan-bahan katekese Gereja Purba makin bertambah banyak dan waktu persiapan juga makin bertambah lama. Hal itu antara lain nyata dari salah satu katekismus yang dipakai oleh Jemaat-Jemaat Purba pada waktu itu, yaitu “Didakhe” (= ajaran keduabelas rasul). Katekismus ini berasal dari lingkungan orang-orang Kristen-Yahudi dan ditulis sekitar tahun 100. Isinya terdiri dari: kedua jalan (=hokum-hukum untuk hidup orang Kristen), petunjuk-petunjuk liturgis untuk pelayanan Baptisan dan Perjamuan Malam (diselingi oleh puasa dan doa Bapa Kami), peraturan-peraturan untuk hidup Jemaat dan pejabat-pejabatnya, dan nasihat yang bersifat eskatologis (untuk berjaga-jaga).
Dalam abad kedua katekese Gereja makin berkembang dan memperolah bentuk-bentuk yang tertentu sebagai katekumenat. Secara kasasr katekumenat Gereja Purba terdiri dari dua bagian atau tingkat. Bagian atau tingkat pertama ialah: bagian atau tingkat katekumin-katekumin (= pengikut-pengikut katekumenat). Bagian atau tingkat kedua ialah: bagian atau tingkat calon-calon baptisan.
Jalan yang panjang ini diatur dengan teliti sampai pada bagian-bagiannya yang kecil. Sebelum seorang diterima menjadi katekumin, ia harus memenuhi dahulu syarat-syarat yang tertentu. Gereja tidak mau menerima sembarangan orang saja. Ia tidak mau menyusahkan driri dengan orang-orang yang hanya ingin-tahu saja atau dengan orang-orang yang bimbang yang kemudian akan “jatuh kembali” ke agama kafir, dan yang karena itu menrugikan Gereja. Ia menuntut, supaya mereka membuktikan, bahwa mereka benar-benar adalah anggota Gereja. Karena itu siapa yang ingin mengikuti katekumenat, harus pergi dahulu kepada uskup atau kepada katekit (= pemimpin katekumenant) untuk mencatatkan nama. Kepada mereka ditanyakan sebab-sebab mereka mau menjadi anggota Gereja. Hidup mereka diselidiki dan kalau mereka diterima, mereka harus berjanji untuk hidup suci, menurut “kebenaran Kristen”. Kalau mereka sedang menjalankan suatu pekerjaan atau jabatan yang tidak sesuai dengan kesucian hidup Kristen, mereka diminta untuk menggantikan pekerjaan atau jabatan itu dengan pekerjaan atau jabatan lain. Jika mereka tidak mau berbuat demikian, mereka ditolak.
Sesudah mereka diterima sebagai katekumin, mereka memperolah hak-hak baru. Sebelumnya mereka hanya bolah mengahadiri bagian pendahuluan dari ibadah Jemaat dan mendengarkan khotbah. Sesudah itu mereka harus meninggalkan ibadah. Tetapi sesudah menjadi katekumin, mereka bolah tetap tinggal dan tturut berlutut dalam pelayanan doa (= syafaat) dan penumpangan tangan. Ibadah yang sebenarnya tidak boleh mereka hadiri. Ibadah itu hanya untuk “orang-orang yang percaya” (= orang-orang yang telah dibaptis).
Waktu katekumenat kemudian bertambah lama: antara dua dan tiga tahun. Hanya untuk orang-orang Yahudi, berhubung dengan bahwa murtad, waktu itu telah dipersingkat menjadi delapan bulan. Dalam hal ini bukan waktu yang menentukan, tetapi sikap dan hidup orang-orang yang mengikuti katekumenat itu. Berhubung dengan itu maka yang ditekankan dalam waktu persiapan ini ialah soal-soal ethis.
Pengajaran-baptisan bukan hanya terdiri dari penjelasan tentang soal-soal iman saja. Ia lebih daripada itu: ia juga mencakup doa, puasa, askese (= hidup bertarak, tidak boleh mandi, tidak boleh menggantikan pakaian), jaga-malam, penyelidikan hati nurani, pengakuan dosa, penolakan dan pengusiran setan (= exsorsisme). Ia sebenarnya adalah suatu bimbingan dalam rahasia iman. Oleh rentetan akta dan latihan yang calon-baptisan harus lakukan ia dipersiapkan secara lahir-bathin untuk menerima baptisan sebagai suatu pengalaman religious. Hal itu nyata dari dokumen-dokumen tua yang ditulis pada waktu itu. Suatu contoh: dalam khotbah-baptisannya yang pertama Cyrillus dari Yerusalem mengemukakan tuntutan-tuntutan yang berikut kepada calon-calon baptisan:
“Siapkanlah hati kamu untuk menerima pengajaran dan mengambil bagian dalam sakramen-sakramen (= misteri-misteri)  yang suci! Berdoalah selalu! Dan waspadalah, supaya kamu jangan menyimpang dari jalan yang benar! Tanggalkanlah manusiamu yang lama dengan jalan mengaku dosamu! Sebab sekaranglah waktunya utnuk mengaku dosa.”
Untuk mematahkan kuasa iblis, dalam ibadah-ibadah Jemaat dilakukan pengusiran setan: uskup meletakkan tangan di atas kepala calon-calon baptisan dan membuat tanda-salib di dahi mereka. Pada ritus ini Cyrillus mengucapkan kata-kata yang berikut:
“Terimalah pengusiran setan dengan rajin! Semakin sering kamu dihembusi, semakin baik untuk keselamatan kamu! Perhatikanlah emas yang belum diolah dan dibersihkan! Emas itu bercampur dengan benda-benda lain: dengan batu, timah, besi, dan lain-lain. Kalau kamu mau memperolah mas murni, kamu harus menyucikannya dengan api dari benda-benda yang lain itu. Demikianlah hendaknya jiwamu disucikan oleh pengusiran setan.”
Di Yerusalem pengajaran yang sebenarnya mulai dengan pengakuan iman (=tradition symboli): pemimpin mengucapkan kata-kata pengakuan-iman, yang sampai saat itu belum boleh diketahui dan dipelajari oleh para katekumin, diikuti oleh suatu penjelasan. Tigabelas dari khotbah-khotbah baptisan Cyrillus memuat penjelasan-penjelasan yang demikian. Pada waktu yang telah ditentukan para calon-baptisan harus dapat menghafal kata-kata dari pengkuan-iman, yang mereka wajib ucapkan pada waktu mereka dibaptis. Untuk maksud itu disediakan daftar-daftar tanya-jawab.
Selain daripada pengakuan-iman, di beberapa tempat diberitahukan juga kata-kata dari doa Bapa Kami. Pemberitahuan ini disusul oleh pelayanan baptisan. Tetapi dengan itu pengajaran baptisan belum selesai. Sakramen-sakramen harus dijelaskan dahulu. Di Gereja Timur hal itu berlaku sebelum pelayanan baptisan. Sebabnya ialah karena Gereja kuatur kalau-kalau kesucian sakramen-sakramen itu akan dinodai. Dan mungkin juga karena sebab-sebab lain: karena Gereja kuatir, kalau-kalau oleh penjelasan yang terlampau pagi kodrat sakramen-sakramen akan berkurang. Dalam sakramen-sakramen Tuhan Allah sendiri bekerja. Pekerjaan-Nya itu harus langsung dialami oleh para calon-baptisan.
Pengajaran katekumenat bukan hanya diberikan oleh uskup-uskup saja, tetapi juga oleh presbiter-presbiter, diaken-diaken dan anggota-anggota Jemaat yang lain. Pengajaran ni dianggap begitu penting, sehingga di Gereja Timur didirikan sekolah –sekolah khusus untuk pelayanan ini. Yang paling tua dan paling terkenal ialah sekolah katekit di Alexandria (= pusat sending Yahudi pada waktu itu). Di tempat-tempat lain ada juga sekolah semacam itu: d Kaisarea, di Antiokia, di Edessa dan di Nisibis. Gereja Barat tidak mengenal sekolah katekit. Pendidikan katekit di sana berada dalam tangan para uskup dan presbiter. Sering biara erupakan pusat-pendidikan yang demikian.

C.    Dalam abad-abad pertengahan
Dalam abad-abad ini katekese Gereja makin lama makin mendangkal. Pandangkalan ini sebenarnya telah mulai pada akhir abad-abad pertama. Hal ini terutama disebabkan oleh pembaptisan anak-anak, yang telah dipraktikkan di mana-mana pada waktu itu. Oleh praktik ini pengajaran katekese tidak diberikan lagi kepada anak-anak dari keluaraga-keluarga Kristen. Sebab menurut tradisi yang diikuti pada waktu itu, katekese hanya diuntukkan bagi orang-orang yang berpindah dari agama kafir ke agama Kristen sebagai persiapan untuk menjadi anggota Gereja. Karena itu pengajaran katekese harus diberikan sebelum baptisan. Sesudah itu tidak perlu lagi.
Hal ini membawa akibat yang buruk bagi katekese. Persiapan yang dahulu diberikan dengan teliti kepada para calon-baptis hampir-hampir tidak ada lagi. Memang unsur-unsur yang penting dari katekese masih tetap ada, tetapi unsur-unsur itu tidak banyak mempunyai arti lagi: sebagian daripadanya telah merosot menjadi rumusan-rumusan yang hanya dihafalkan saja dan sebagian lagi hanya dipakai sebagai alat-pembantu dalam liturgy dan ibadah Gereja.
Bukan hanya unsur-unsur katekese di atas, juga ritus-ritus seperti penerimaan dalam aktekumenant, pengangkatan sebagai “competetes”, exorsisme, penumpangan-tangan, pengurapan dll., telah kehilangan artinya yang semula dan berobah menjadi akta-akta yang murni liturgis.
Dalam abad kedelapan dan kesembilan, ketika Berita Injil disampakan kepada bangsa-bangsa German, katekese Gereja mengalami suatu pembaharuan. Pada waktu itu dituntut lagi, bahwa orang-orang yang mau menerima baptisan, harus dipersiapkan dahulu dengan baik.
Hal itu nyata dengan jelas dalam surat-surat Alkuinus yang tidak henti-hentinya memperingatkan, supaya orang-orang German jangan ditobatkan dengan kekerasan. Dengan sangat ia meminta kepada kaisar, supaya kaisar mengurts penginjil-penginjil kepada bangsa-bangsa yang telah ditaklukkan, dengan tugas untuk perlahan-lahan mengajar dan mendidik mereka “sma seperti anak kecil yang masih membutuhkan susu”. Dengan tegas ia katakan, bahwa baptisan baru boleh dilayani, kalau orang-orang yang akan dibaptis itu telah mendapat pengajran katekese: “Jangan sekali-kali terjadi, bahwa sakramen baptisan hanya diterima oleh tubuh, padahal jiwa tidak memahami kebenaran yang terkandung di dalamnya. Tuhan Yesus tidak katakan: “Pergilah dan baptislah segala bangsa, sesudah itu ajarlah mereka . . .”. Tetapi: “Ajarlah mereka . . .” dan sesudah itu barulah: “Baptislah mereka . . .!” Peringatan-peringatan Alkuinus ini dalam praktik dilaksanakan. Orang-orang yang mau dibaptis, harus mengikuti pengajaran katekese dahulu: tujuh sampai empatpuluh hari.
Pengaruh Karel Agung telah menolong menghidupkan kembali katekese Gereja, terutama di daerah-daerah sending. Tetapi hal itu tidak lama berlangsung. Sesudah Ereopa selesai di”Kristen”kan, pengajran katekese merosot lagi seperti dahulu dan hanya terdiri dari: penghafalan pengakuan-iman dan doa (= Bapa Kami, dan kemudian Ave Maria), pengenalan akan sakramen-sakramen dan upacara-upacaranya, dan pegetahuan akan daftar-daftar dosa berhubung dengan pengakuan-dosa pribadi yang makin lama makin besar memainkan pereanan dalam Gereja.
Sejalan dengan itu kemerosotan katekese Gereja juga makin lama makin bertambah besar, sehingga akhirnya dalam abad ke-15 ia samasekali tidak berarti lagi. Kursi pengakuan dosa pribadi mengambil-alih fungsinya. Ia merupakan semacam “kursi-pengadilan” rohani, yang dengan keputusan-keputusan dan hokum-hukumnya mencakup seluruh hidup anggota jemaat. Dari buku-buku pengakuan dosa pribadi, yang khusus ditulis sebagai pedoman bagi para rohaniawan untuk tugas mereka nyata kepada kita, bagaimana situasi katekese dalam abad-abad pertengahan.
Yang menyolok ialah, bahwa sampai pada waktu itu Alkitab tidak mendapat tempat sebagai bahan khusus dalam katekese. Ia memang kadang-kadang dikutip, tetapi hanya untuk menjelaskan bahan-bahan yang harus dipelajari.

D.    Pada waktu reformasi
Hal itu berobah pada waktu rreformasi. Salah satu jasa yang paling besar dari reformasi ialah bahwa ia menempatkan kembali Alkitab sebagai pusat dalam theologia dan dalam praktik Gereja. Penempatan ini menimbulkan perobahan besar di bidang katekese. Bukan dalam arti, bahwa bahan-bahan tradisional dibuang atau diganti dengan bahan-bahan lain. Bahan-bahan itu terus dipakai, tetapi sekarang sebagai rangkuman dari ajaran Alkitab.
Perobahan atau pembaharuan yang dibawa oleh reformasi berlangsung di tiga bidang. Bidang yang pertama: isi katekese. Kalau katekismus-katekismus, yang ditulis pada waktu itu, dibandingkan dengan buku-buku katekese dari abad-abad pertengahan nyata dengan jelas, bahwa isi katekismus-katekismus itu jauh lebih baik. Hal itu terutama disebabkan oleh tempat sentral, yang diberikan oleh reformasi kepada Alkitab dalam katekese. Itu tidak berarti, bahwa dalam katekese Alkitab telah mendapat tempat yang khusus.
Kemudian keadaan ini makin lama makin berobah. Untuk dapat memahami bahan-bahan yang harus dipelajari dengan baik, pengikut-pengikut katekese disuruh menghafal sejumlah nas dan mempelajari beberapa ceritera Alkitab. Hal itu terjadi di banyak Gereja. Tetapi baru dalam abad ke-17 ceritera-ceritera Alkitab mendapat tempat yang khusus dalam katekese.
Bidang yang kedua: ruang-cakup katekese. Ruang-cakup katekese pada waktu reformasi jauh lebih luas daripada ruang-cakup katekese dalam abad-abad pertengahan. Dalam abad-abad pertengahan katekese hanya dibatasi pada orang-orang yang berpindah dari agama kafir ke agama Kristen. Pada waktu reformasi katekese mencakupi semua orang. Sebab sebagai “imam” tiap-tiap orang percaya selengkap dan sebai mungin mengetahui kebenaran yang ia percayai. Theologia harus menjadi milik dari semua anggota Jemaat. Untuk katekese pendirian ini membawa tugas yang berat. Sebab hal itu berarti, bahwa katekismus-katekismus (yang dimaksud di sini ialah buku pangajaran gerejawi) yang dipakai harus cocok bagi semua orang.
Menurut para reformator katekese adalah pertama-tama tugas keluarga. Orang-tua berkewajiban mendidik anak-anak mereka menurut Firman dan hukum-hukum Allah, dan memimpin mereka kepada Kristus. Di samping keluarga katekese ditugaskan juga kepada sekolah. Hal ini harus demikian, karena erat sekali hubungan antara Gereja dan sekolah pada waktu itu.
Berdasarkan situasi ini Luther berpendapat, bahwa tempat katekee ialah keluarga dan sekolah. Gereja, sekalipun mempunyai hubungan dengan kedua tempat ini, mempunyai tugas lain, yaitu memberikan penjelasan lebih luas oleh “khotbah-katekismusnya” tentang apa yang dipelajari dalam katekese. Cara ini umumnya masih tetap dipakai oleh Gereja-Gereja Lutheran di Eropa dan di negeri-negeri lain.
Karena itu istilah “pengajaran agama”, yang berasal dari dunia sekolah, lama kelamaan diterima sebagai istilah resmi menggantikan istilah “katekese”. Sebaliknya kata “katekismus” beberapa waktu lamanya dipakai di berbagai-bagai bidang di luar Gereja dengan arti “buku pengajaran” atau “buku edoman”. Umpamanya di Jerman. Dalam abad ke-18 terdapat di sana rupa-rupa katekismus untuk prajurit, untuk musik, dll.
Zwingli mempunyai pendapat yang agak lain. Menurut dia katekese sebenarnya dalah tugas pokok dari Gereja. Karena itu ia berusaha memperoleh ruang, di mana Gereja dapat menunaikan tugas ini, antara lain dengan mengumpulkan anak-anak untuk mempelajai pengakuan-iman dan doa, menjelang hariraya Natal dan hariraya Paskah. Calvin juga mempunyai pendapat yang sama. Sekalipun ia manegkui arti yang besar dari keluarga dan sekolah bagi katekese, ia bersungguh-sungguh mengusahakan suatu pengajaran gerejawi tersendiri, khususnya mengingat peneguhan-sidi (= konfirmasi) oleh Gereja. Untuk itu ia menganjurkan katekese umum (= terbuka) sesudah kebaktian, di mana anak-anak harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Di samping kebiasaan ini Gereja-Gereja juga memberikan pengajran katekese pada hari-hari kereja, seperti yang kita kenal ada waktu ini.
Untuk menyebar-luaskan ajaran Kristen kapada seluruh anggota jemaat, para reformator telah menulis ketekismus-katekismus. Luther yang pertama-tama mulai. Dari tahun 1518-1520 ia menyusun suatu buku-kecil, yang memuat penjelasan-penjelasan pendek tentang dasafriman, pengakuan-iman (= Apostolicum) dan doa. Buku-kecil ini, yang beberapa kali dicetak ulang, merupakan dasar dari “Katekismus Besar” dan “Katekismus Kecil”, yang diterbitkan pada tahun 1529.
Dalam tahun 1536 Calvin menerbitkan ikhtisar dari Institutionya sebagai katekismus dalam bahasa Perancis, dalam tahun 1538 juga dalam bahasa Latin. Kemudian menyusul suatu buku-kecil yang lebih sederhana juga mula-mula dalam bahasa Perancis (1541) dan kemudian dalam bahasa Latin (1545). Buku-kecil ini terdiri dari limapuluh lima minggu dan seluruhnya dalam bentuk Tanya-jawab. Dalam suatu suratnya kepada Eduard Seymour (22 Oktober 1548), seorang bangsawan dari Somorset, Calvin menulis: “Percaya, bahwa Gereja Tuhan tidak dapat hidup tanpa katekismus”. Karena itu “berusahalah, supaya anak-anak diajar berdasarkan suatu katekismus yang baik, yang dengan singkat mengajar mereka apa artinya agama Kristen yang benar.”
Dalam Gereja-gereja Calvin katekismus Calvin makin lama makin terdesak oleh Katekismus Heidelberg, yang disusun oleh Caspar Olevianus dan Zacharias Ursinus, atas perintah raja Frederik III dari Pfalz, pada tahun 1542. Frederik III menghendaki suatu buku pengajaran, yang mempersatukan ajaran para reformator Swis dan Jerman. Berdasarkan usul Ursinus buku pengajan itu dibagi atas tiga bagian: dosa, penebusan dan pengucapan syukur. Mula-mula pembagian dalam minggu-minggu tidak ada. Tetapi kemudian pembagian itu diadakan. Suatu hal lain yang penting kita tahu ialah, bahwa dalam edisi kedua ajaran Gereja katholik Roma dengan tegas ditolak. Pada waktu itu ditambahkan jawab 80, yang menyebut misa Katholik Roma suatu “penyembahan berhala” yang menjijikkan.
Bidang yang ketiga: cara mempelajari bahan katekese. Juga di bidang ini reformasi berbeda dengan abad-abad pertengahan. Dalam abad-abad pertengahan katekese umumnya terdiri dari menghafal bahan-bahan katekese, tanpa mengatahui artinya. Pada waktu reformasi hal ini berobah. Para reformator tdak setuju dengan hanya menghafal pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban dalam katekismus. Luther menuntut, bahwa pengikut-pengikut katekese harus mengerti apa yang mereka pelajari. Calvin dan Zwingli berpendapat juga demikian.
Pengetahuan dengan otak dan pengetahuan dengan hati harus berjalan bersama-sama. Pada satu pihak otak harus secara aktif diikut sertakan dalam katekese. Tetapi pada lain pihan harus dijaga, supaya perasaan dan hati juga mendapat bagiannya di situ. Dalam dwi-tunggal ini keputusan-percaya anak-anak harus dipersiapkan. Injil harus dapat dimengerti dengan otak dan dapat dipahami dengan hati. Berhubung dengan tu penjelasan katekismus harus sesuai dengan daya tangkap anak-anak. Banyak Sinode menghendaki, supaya katekismus dijelaskan dalam kebaktian sore pada hari minggu. Sinode Dordrecht (1618-1619) umpamanya memutuskan hal-hal yang berikut tentang katekese:
-          Harus ada khotbah katekismus tiap-tiap Minggu: khotbah-khotbah itu harus pendek dan dapat dimengerti oleh anak-anak.
-          Dua kali seminggu guru-guru sekolah harus memberikan pengajaran katekese. Untuk anak-anak: naskah pengakuan iman, doa Bapa Kami dan sedikit tentang sakramen-sakramen. Selanjutnya pertanyaan-pertanyaan yang seerhana tentang ketiga bagian dari Katekismus Heidelberg. Untuk anak-anak yang telah maju: suatu rangkuman dari Katekismus Heidelberg. Untuk anak-anak besar: Katekismus Heidelberg seluruhnya.
-          Katekese oleh pendeta-pendeta, penatua-penatua atau penghibur-penghibur orang sakit, baik untuk orang-orang muda, maupun untuk orang-orang dewasa.
-          Harus ada katekese keluarga. Di situ orang tua membiasakan anak-anaknya untuk berdoa bersama, membaca Alkitab bersama, menjelaskan kepada mereka apa yang dibacakan itu, dan membimbing mereka dalam mempelajari katekismus. Orang uta yang lalai dalam hal ini harus dinasihati atau dikenakan disiplin.

E.     Pada waktu sending Belanda
Kebiasaan-kebiasaan yang dipakai oleh Gereja-Gereja di Eropa di bidang katekese, dibawa-masuk oleh pendeta-pendeta sending ke Indonesia dan dipakai juga dalam Jemaat-Jemaat di sini. Salah satu dari kebiasaan-kebiasaan itu ialah: katekese yang erat dihubungkan dengan pengajaran agama di sekolah. Begitu erat hubungan itu di sini, sehingga pengajaran agama di sekolah dianggap sebagai “pesemaian” dari katekese Gereja. Hal itu nyata dengan jelas dari ketetapan Sidang Raya Agung, yang diselenggarakan pada tanggal 6 Agustus – 20 Oktober 1624 di Betawi. Dalam Sidang Raya itu ditetapkan, bahwa “anak-anak Belanda dan anak-anak yang bukan-Belanda harus dididik secara Kristen di sekolah-sekolah” dan bahwa “untuk pengajaran agama selanjutnya anak-anak itu harus mengunjungi pengajaran katekese Gereja.”
Izin untuk membuka dan mengusahakan sekolah baru diberikan, kalau orang yang mau melakukannya telah lulus dari ujian, yang dihadiri oleh wakill-wakil Gereja dan Pemerintah. Syarat-syarat ujian ialah:
-          Calon guru harus seorang anggota-sidi.
-          Calon guru harus dapat langsung membaca buku-buku dan surat-surang yang dicetak.
-          Calon guru harus dapat menulis dan berhitung dengan baik.
-          Calon guru harus dapat menyanyikan “mazmur-mazmur Daud.”
Untuk dapat mengajar guru-guru harus menandatangani dahulu “pengakuan-iman Gereja-Gereja Belanda”, “Katekismus Heidelberg” dan “dasar-dasar ajaran Sinode Nasional di Dordrecht”. Mereka tidak boleh menyerahkan pekerjaan mereka kepada guru-guru pembantu. Hal itu hanya diizinkan dalam hal-hal darurat, umpamanya kalau jumlah murid terlampau besar, sehingga guru-guru tidak dapat memberikan pengajaran sendiri. Tentang sekolah dan pengajaran ditentukan antara lain seperti berikut:
-          Sekolah harus dimulai dan diakhiri dengan doa.
-          Selain daripada menulis dan berhitung murid-murid harus belajar berdoa, menghafal doa Bapa Kami, dasafirman, ikhtisar Katekismus Hiedelberg, menyanyikan mazmur-mazmur Daud, dll.
-          Sekolah hanya boleh memakai buku-buku yang telah disahkan oleh Majelis Gereja dan harus waspada terhadap buku-buku yang mengandung ajaran bidat atau ajaran lain yang dapat merusak murid-murid sekolah, baik rohani, maupun jasmani.
-          Guru-guru harus menjaga supaya murid-murid, baik di dalam, maupun di luar sekolah, tidak boleh menggunakan perkataan-perkataan kotor, tidak boleh menghujat nama Allah, tetapi sebaliknya harus berkelakuan baik: haru menghormati “kuasa” di atas mereka: orang tua, pemerintah, guru-guru dll.
Pada tahun 1776 Peraturan Sekolah ini diganti dengan suatu Reglemen Sekolah baru. Tetapi isinya tetap sama: pedagogis dan methodis ia tidak membawa perobahan apa-apa. Hal itu telah nyata dari pasal 1, dimana kita membaca tentan ketentuan-ketentuan bagi guru-guru:
-          Mereka harus mengetahui bahasa Belanda.
-          Mereka harus dapat membaca dan menulis.
-          Mereka harus dapat menyanyikan “mazmur-mazmur Daud”.
-          Mereka harus anggota dari “Gereja Hervormd”.
Sekolah ini sebenarnya bukanlah sekolah umum tetapi sekolah agama, semacam “madrasah Kristen”, yang hanya mempunyai satu buku bacaan dan satu buku pelajaran, yaitu Alkitab dan Katekismus Heidelberg. Teranglah, bahwa dari sekolah yang semacam ni tidak dapat diharapkan hasil yang baik, terutama kalau kita ingat, bahwa yang memberikan pengajaran di situ ialah orang-orang yang tidak cukup mendapat pendidikan sebagai guru dan yang sangat kecil gajinya. Benar, dalam Reglemen baru itu kita juga membaca tentang usaha-usaha untuk memajukan sekolah, tetapi usaha-usaha itu lebih banyak bergerak di bidang keagamaan daripada di bidang pengajaran. Beberapa usaha itu ialah:
  • Guru-guru harus tetap menghadiri ibada-ibadah Gereja dan katekisasi-katekisasi.
  • Guru-guru harus memberikan laporan sekali dalam sebulan tentang sekolah kepada penilik sekolah.
  • Sekolah harus dikunjungi dua kali setahun oleh penilik-penilik sekolah.
  • Sekolah harus berkumpul dua kali setahun dalam Gereja Portugis. Dalam pertemuan-pertemuan itu guru-guru yang rajin mendapat pujian dan menerima hadiah dan guru-guru yang malas mendapat hukuman.
Lanjutan pengajaran agama di sekolah ialah pengajaran katekese yang diberikan oleh pendeta-pendeta di Gereja. Theoretic pekerjaan itu diatur dengan baik dan secara terinci dalam tatagereja-tatagereja. Dan dalam keputusan-keputusan lain dari Majelis Gereja. Tetapi dalam praktik ia sukar dikerjakan, terutama karena kekurangan tenaga pendeta. Di beberapa Jemaat Majelis Gereja berusaha mengatasi kesulitan ini dengan alan mengangkat tenaga-tenaga pembantu. Tetapi secara umum usaha itu juga tidak banyak menolong: sama sperti guru-guru sekolah, tenaga-tenaga pembantu ini tidak cukup diperlengkapi, sehingga mereka tidak dapat menunaikan tugas mereka dengan baik. Untuk sekadar menolong pendeta-pendeta dan pembantu-pembantu mereka dalam pekerjaan mereka, diusahakan penterjemahan buku-buku pengajaran katekese yang dipakai dalam Gereja-Gereja di Belanda. Yang terpenting di antaranya ialah:
a.       Bagian-bagian Alkitab.
-          Injil Matius dan beberapa Mazmur, oleh A.C. Ruyl (1629).
-          Injil Matius dan Injil Markus, oleh A.C. Ruyl (1638).
-          Injil Lukas dan Injil Yohanes, oleh J. van Hazel (1646).
-          Keempat Injil dan Kisah Para Rasul, oleh J. Heurnius.
-          Limapuluh Mazmur, oleh J. van Hazel dan diperbaiki oleh J. Heurnius (1648).
-          Seratus limapuluh Mazmur, oleh J. Heurnius (1652).
-          Kejadian, oleh D. Brouwerius (1662).
-          Perjanjian Baru, oleh D. Brouwerius (1668).
-          Duapuluh lima Mazmur, oleh G.H. Werndly (1735).

b.      Katekismus dan buku-buku katekese lain.
-          Ikhtisar dari buku Marnix van St. Aldegonde, oleh A.C. Ruyl (1602).
-          Ikhtisar dari buku Marnix van St. Aldegonde dan beberapa karya lain (dalam bahasa Melayu Ambon), oleh F. Houtman.
-          Katekismus Heidelberg, oleh S. Danckaerts (1623).
-          Katekismus Heidelberg, formulir-formulis dan doa-doa, oleh J. Roman.
-          Buku Tanya-jawab, oleh Spiljardus.
-          Katekismus, oleh I. Thije (1680).
-          Ikhtisar dari buku Marnix van St. Aldegonde, oleh S. Danckaertas (1682).
-          Ikhtisar Katekismus, formulir-formulir dan doa-doa, oleh M. Leydecker (1688).
-          Katekismus (dalam bahasa Melayu Ambon), oleh Fr. Valentjin (1756).
Salah satu buku katekisasi yang paling besar dan paling lama memainkan peranan dalam palayanan Jemaat-Jemaat dari Gereja di Indonesia pada waktu itu ialah terjemahan dari “buku tanya-jawab” yang ditulis oleh Marnix van St. Aldegonde. Buku ini mula-mula diterjemahkan oleh A.C. Ruyl dalam “bahasa Melayu yang baik” (1602), tetapi di beberapa tempat terjemahan itu tidak dapat dipahami orang. Untuk mengatasi kesulitan ini Houtman mengusahakan suatu terjemahan lain dalam “bahasa Melayu Ambon”, tetapi terjemahan ini juga sukar dimengerti. Berhubung dengan itu Danckaerts mengambil keputusan untuk merobah di sana-sini terjemahan Ruyl, sehingga buku ini dapat berguna untuk anak-anak dan orang-orang Kristen baru.

F.     Pada waktu ini
Situasi katekese dalam Gereja-Gereja kita pada waktu ini berbeda dengan situasi kaekese dalam Gereja-Gereja itu pada waktu sending. Perbedaan ini terdapat di berbagai-bagai bidang. Yang terpenting di antaranya ialah di bidang tenaga pengajar dan buku-buku yang digunakan dalam pengajran katekese. Tenaga-tenaga pengajar katekese dalam Gereja-Gereja kita pada waktu ini umumnya lebih baik dipersiapkan daripada tenaga-tenaga pengajar katekese pada waktu sending. Mereka diperlengkapi dengan rupa-rupa pengetahuan yang mereka butuhkan untuk pekerjaan mereka, seperti: pengetahuan tentang pengikut-pengikut pengajaran katekese, pengetahuan tentang dunia mereka, pengetahuan tentang perkembangan mereka, pengetahuan tentang bahan-bahan katekese yang mereka gunakan, pengetahuan tentang methode pengajaran, pengetahuan tentang alat-alat pembantu untuk katekese, dll. Juga buku-buku yang digunakan pada waktu sending. Bbenar, ada Gereja yang masih tetap menggunakan buku-buku katekese yang dipakai pada waktu sending tetapi umumnya Gereja-Gereja kita pada waktu ini menggunakan buku-buku atau bahan-bahan lain.
Di samping hal yang menggembirakan ini, kita mau menyebut suatu hal lain yang sangat merugikan pengajaran katekese pada waktu ini, yaitu pangajaran dan pendidikan agama dalam keluarga-keluarga Kristen. Pengajaran ini terutama pada waktu reformasi pernah memainkan peranan yang penting. Tetapi pada waktu ini ia hampir-hampir tidak mendapat perhatian lagi. Yang menyedihkan ialah, bahwa kenyataan ini tidak dianggap sebagai suatu kerugian, baik oleh orangtua anak-anak, maupun oleh Gereja.



[1] Bnd 1 Kor 12:3 dan Flp 2:11

sumber buku     : Sekitar Katekese Gerejawi
pengarang         : J.L. Ch. Abineno
penerbit            : BPK Gunung Mulia

3 komentar: