Laman

Kamis, 01 Maret 2012

YESUS KRISTUS (KRISTOLOGI)


BAB I
PENDAHULUAN

Pertanyaan mengenai siapakah Yesus Kristus, adalah pertanyaan yang penting sekali dijawab oleh setiap orang. Pembahasan didalam bagian ini bertujuan menelitih ajaran-ajaran yang terdapat dalam Perjanjian Baru “Siapakah sebenarnya Yesus Kristus.” Penelitian tentang siapakah Yesus Kristus mempunyai istilah yang khusus dalam bahasa teologi Kristen, yaitu “Kristologi.”
Perjanjian Baru ditulis oleh para pengikut Yesus yang percaya kepada-Nya, hal ini merupakan suatu fakta yang sudah jelas dengan sendirinya. Karena itu apabila kita menyajikan secara sistematis apa yang dikatakan Perjanjian Baru mengenai Yesus, itu berarti pula kita menyajikan secara sistematis kepercayaan para penulis Perjanjian Baru.
Dalam pembahasan berikut ini kita akan memusatkan perhatian pada apa yang disajikan oleh penulis-penulis Perjanjian Baru tentang Kristologi dan bukan pada sejarah asal mula dan perkembangannya. Maksud dari ahli Teologi Perjanjian Baru dengan membahas bidang itu ialah untuk memperlihatkan betapa kayanya macam-macam tafsiran mengenai pribadi Yesus dalam Perjanjian Baru.
Pembahasan kita di bagian awal ini akan dipusatkan pada dua hal, yaitu kemanusiaan Yesus dan ketidakberdosaan Yesus.
BAB II
YESUS KRISTUS (KRISTOLOGI)
A.    Yesus Sebagai Manusia
1.      Yesus sebagai manusia sejati
a.      Kitab-kitab Injil Sinoptik
Dalam kitab-kitab Injil Sinoptik kita mendapat tiga gambaran mengenai Yesus dari Nazaret. Dalam masing-masing penggambaran tersebut terdapat perbedaan dalam banyak hal, namun semuanya berpusat pada manusia yang sama. Di antara tiga kitab Injil Sinoptik, hanya Markus yang memberikan petunjuk dalam kata-kata pembukaannya dengan memperkenalkan seseorang yang lebih dari seorang manusia; namun diantara ketiga penulis lainnya itu, Markuslah yang lebih memusatkan perhatiannya pada Yesus sebagai manusia. Di lain pihak, Matius dan Lukas memusatkan perhatian pada permulaan kehidupan Yesus sebagai manusia, dengan mengikutsertakan kisah kelahiran Yesus.
Catatan mengenai kelahiran-Nya menggambarkan Yesus dalam keluarga manusia yang biasa, yang juga mengalami semua permasalahan yang biasa terjadi. Satu-satunya peristiwa pada masa kanak-kanak Yesus yang diceritakan, memperlihatkan keberadaan keluarga yang bersifat manusia biasa, yaitu kecemasan orang tua karena kehilangan anaknya. Tetapi komentar Lukas bahwa Yesus patuh kepada orang tuanya, merupakan kesimpulan mengenai kehidupan Yesus dalam seluruh masa pertumbuhan-Nya (Luk.2:51). Komentar Lukas selanjutnya bahwa Yesus makin bertambah besar dan bertambah hkmat-Nya (Luk.2:40,52), memperlihatkan perkembangan manusia biasa secara normal.
Injil Markus mencatat beberapa emosi Yesus yang sangat manusiawi, emosi yang mencakup rasa gusar (10:14), marah dan sedih (3:5) juga penolakan terhadap Yesus oleh karena adanya hubungan yang terlalu bersifat manusia antara Yesus dan suatu keluarga biasa saja (6:1-6).
b.      Tulisan-tulisan Yohanes
Kitab Injil ini lebih banyak memberikan keterangan mengenai keilahian Yesus dibandingkan dengan kitab-kitab Injil Sinoptik, dan kitab ini di awali dengan tulisan mengenai keberadaan Yesus sebelum segala sesuatu ada. Namun sangat mengesankan bahwa kitab Injil ini juga berisi hal-hal yang jelas mendukung kemanusiaan Yesus. Pernyataan dalam Yoh 1:14 yang berbunyi “Firman itu telah menjadi manusa, dan diam diantara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya,” di satu pihak menekankan bahwa  Anak Allahlah yang menyatakan diri-Nya melalui inkarnasi, di lain pihak menyatakan kemanusian-Nya.
Tidak dapat diragukan bahwa Yohanes ingin memberikan kesan bahwa apabila logos (Firman) menjadi manusia (daging), maka ia benar-benar daging. Firman yang sudah ada sebelum segala sesuatu ada itu telah menjadi manusia sejati. Namun demikian, kemanusiaan-Nya itu tidak dapat mengaburkn kesan yang sama kuatnya dengan kenyataan bahwa Yesus sebagai manusia unik.
c.       Kisah Para Rasul
Kisah Para Rasul 2:22 berbicara tentang Yesus sebagai “Yesus dari Nazaret”, seorang yang telah ditentukan Allah dan yang dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan mujizat-mujizat dan tanda.” Dalam Kisah Para Rasul 4:10, Ia disebut “Yesus Kristus, orang Nazaret.” Sebutan “Yesus orang Nazaret itu” dipakai juga oleh penunduh-penunduh palsu yang melawan Stefanus (Kis 6:14). Nama yang sama digunakan oleh Petrus dalam khotbahnya kepada Kornelius dan keluarganya (Kis 10:38). Menurut kesaksian Paulus mengenai pertobatannya yang ditulis dalam Kisah Para Rasul 22:8, Tuhan yang bangkit memperkenalkan diri-Nya sebagai Yesus orang Nazaret. Hal-hal ini merupakan keterangan yang secara jelas menunjukkan bahwa dalam sejarah, Yesus pernah hidup sebagai manusia di desa Nazaret. Namun harus diakui bahwa Kisah Para Rasul lebih memusatkan perhatian pada kemuliaan Yesus yang tinggi, daripada tentang hidup-Nya di dunia ini.
d.      Paulus
Dalam surat-surat Paulus, hanya terdapat sedikit keterangan mengenai pokok ini, tetapi kekurangan itu sering dilebih-lebihkan, seolah-olah mendukung pendapat bahwa Paulus tidak menaruh minat pada kehidupan Yesus sebagai manusia dalam sejarah. Tetapi pandangan ini tidak dapat dipertahankan. Paulus mengetahui bahwa Yesus adalah keturuanan Daud. Yesus memang termasuk orang Israel. Ia diutus oleh Allah pada waktu tertentu dan dilahirkan oleh seorang wanita dan hidup di bawah hukum Taurat.
Paulus pernah bertemu rasul-rasul Yerusalem (Kis 9:26), pada waktu itu tentu ia mendengar banyak uraian peristiwa tentang Yesus dan kedua belas murid-Nya, peristiwa yang paling khusus dalam kehidupan Yesus yang disebutkan oleh Paulus, selain peristiwa penyaliban, penguburan dan kebangkitan (1 Kor 15:4), ialah penetapan perjamuan Tuhan (1 Kor 11:23). Paulus tidak memberikan gambaran langsung mengenai pribadi Yesus demikian juga dengan para penulis kitab-kitab Injil namun mereka sadar akan segi-segi tertentu dari pribadi Yesus. Ia berbicara tentang kerendahan hati dan kelembutan Yesus (2 Kor 10:1).
Dari keterangan-keteragan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Rasul Paulus sudah tentu memperoleh keterangan yang cukup luas mengenai Yesus sebagai manusia. Dan jelas bahwa Paulus memandang Yesus sebagai benar-benar manusia.
e.       Surat Ibrani
Ibrani 1:3 penulis memperkenalkan Yesus sebgai Anak Allah yang di tinggikan serta mengenai kemanusiaan-Nya. Surat ini juga membicarakan mengenai kualifikasi Kristus sebagai Imam Besar. Surat Ibrani tidak memperlihatkan kebingungan mengenai gagasan yang sejajar tentang keilahian Anak Allah dengan kemanusian-Nya yang sejati.
f.        Surat Petrus
Dalam surat 1 Petrus, kemanusian Yesus yang sejati diterima sebgai hal yang benar dan tidak diungkapkan secara panjang lebar lagi. Dalam 2 Petrus 1:16 dst. Pokok yang penting ialah kemuliaan itu terlihat di dalam dunia.
g.      Kitab Wahyu
Kitab ini terpusat pada Kristus Sorgawi yang telah bangkit, hanya sedikit penekanan pada kemanusiaan-Nya (Why 1:7;1:18) Anak domba yang menang sebagai Dia yang sudah hidup didunia dan mati untuk menyelamatkan manusia.
2.      Yesus sebgai manusia yang tidak berdosa
a.      Kitab-kitab Injil Sinoptik
Kitab-kitab Injil Sinopti melukiskan ketidakberdosaan-Nya secara langsung, namun mempersipakan kita menerima uraian yang lebih khas dalam Injil Yohanes dan pertanyaan tegas yang pasti dalam surat-surat kiriman.
b.      Tulisan-tulisan Yohanes
Yohanes mencatat bahwa Yesus sebgai Anak Allah dan juga manusia sejati ini menyatakan secra tidak langsung mengenai ketidakberdosaan-Nya. Penyataan tersebut sangat jelas dalam 1 Yoh 3:5 (di dalam Dia tidak ada dosa)
c.       Kisah Para Rasul
Disini ketidakberdosaan Yesus tidak diuraikan secara jelas, namun dinggap sudah diketahui.
d.      Paulus
Dalam 2 Korintus 5:21 Paulus mengatakan “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi menjadi dosa karena kita”. Secara jelas di sini dikatakan bahwa Yesus tidak berdosa, walaupun ada masalah yang mendasar mengenai arti pernyataan “dibuat menjadi dosa” sekali lagi pusat perhatian diarahkan pada fakta bahwa Ia tidak berbuat (mengenal dosa). Kehidupan yang tidak berdosa merupakan pendahuluan yang mutlak diperlukan oleh orang-orang dalam mengenal Kristus karena bagi merekalah Yesus telah datang untuk menyelamatkan dari dosa.
e.       Surat Ibrani
Dalam memperlihatkan sifat-sifat Yesus sebgai seorang Imam Besar yang penuh perhatian, penulis membandingkan pencobaan-pencobaan  yang Dia alami dan kita alami, dengan tambahan yang penuh arti “hanya tidak berbuat dosa” (Ibr 4:15). Kemungkinan bahwa  Yesus dapat berbuat dosa tidak dibahas , tetapi ditegaskan bahwa Ia tidak bebuat dosa.
f.        Surat-surat Petrus
Disini Petrus mempertahankan bahwa Kristus tidak berbuat dosa dan pada saat yang sama ia menegaskan bahwa Ia memikul dosa-dosa kita supaya kita yang mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran (1 Ptr 2:24). 1 Ptr 3:18, yang menyatakan bahwa Kristus yang benar mati untuk orang-orang  yang tidak benar. Dalam kedua ayat ini hal yang terutama ialah kematian Kristus dan jelaslah bahwa keadaan hidup-Nya yang tanpa dosa itu dianggap sebgai factor penting dalam arti kematian-Nya.
B.     Mesias
Kata “Mesias” dalam konteks ini berarti tokoh pembebas (penyelamat) yang diharapkan oleh orang Yahudi, yaitu seseorang yang akan menjadi wakil Allah untuk pembentukan suatu zaman baru bagi umat-Nya. Kata “Mesias” berasal dari bahasa Ibrani, dan bahsa Yunani untuk kata itu adalah ‘Kristus”. Kedua istilah ini berasal dari akar kata yang berarti “mengurapi,” dari hal ini Yesus dipandang sebagai orang yang secara khusus ditahbiskan untuk tugas tertentu.
1.      Gelar Mesias
Istilah Mesias dalam bahasa Yunani Khisto (yang diurapi), banyak sekali dipakai dalam Gereja Kristen. Hal ini nyata dengan adanya fakta bahwa orang-orang yang percaya kepada Yesus pada masa-masa permulaan disebut sebagai orang-orang Kristen; dan hal ini merupakan kesaksian yang mengesankan karena dari situ kita dapat melihat bagimana pentingnya konsep Kristus dalam pikiran mereka. Mereka begitu yakin bahwa Yesus adalah Mesias dan mereka bagitu giat dalam memberitakan hal itu sehingga orang-orang lain menyebut mereka “pengikut-pengikut Kristus.” Hal ini terjadi di Antiokhia. Ini merupakan hal yang penting karena disanalah jemaat pertama-tama dibangun ditengah-tengah orang-orang bukan Yahudi (Kis 11:26).
a.      Latar belakang Yahudi
Dalam PL, terutama dalam kitab nabi-nabi, banyak disebutkan masa kemesiasan yang akan datang yang menawarkan masa depan yang cerah bagi umat Allah (bnd 26-29;40 dst; Yeh 40-48; Dan 12; Yl 2:28-3:21), tetapi hanya sedikit yang dikatakan tentang Mesias. Gelar itu tidak dipakai untuk penyelamat yang akan datang. Bahkan tokoh yang akan membuka zaman yang akan datang adalah Allah sendiri. Tetapi walaupun istilah “Mesias” itu tidak muncul secara tersendiri, ada bermacam-macam penggunaannya dalam rangkaian kata seperti Mesias Tuhan (yang di urapai).
Selama masa antara PL dan PB, arti dari istilah itu mengalami beberapa perubahan, dan arti teknis dari orang yang diurapi Tuhan menjadi lebih menonjol (Mzr 17-18). Pengharapan akan kedatangan Mesias mempunyai bentuk yang berbeda-beda, tetapi yang paling menonjol ialah gagasan mengenai Raja keturunan Daud, yang akan mendirikan kerajaan di dunia bagi umat Israel dan akan menghancurkan musuh-musuh Israel. Mesias akan merupakan tokoh politik, tetapi dengan kecendurungan ke arah agama.
b.      Kitab-kitab Injil Sinoptik
Kitab-kitab Injil Sinoptik yang memberikan petunjuk mengenai pandangan  Yesus tentang peranan Mesias. Pertama-tama perlu dicatat bahwa kitab-kitab Injil memberikan informasi mengenai pengharapan umum akan Mesias pada waktu itu. Matius melaporkan bahwa para penasehat berbangsa Yahudi dari Raja Herodes mampu memberitahu secara langsung bahwa Mesias akan dilahirkan di Betlehem (Mat 2:3-5). Lukas mencatat kebingungan orang banyak apakah Yohanes Pembaptis adalah Mesias itu (Luk  3:15), dan hal ini merupakan suatu hal yang menyatakan secara tidak langsung tentang pengharapan mereka.
c.       Tulisan-tulisan Yohanes
Injil Yohanes menyebutkan dua kejadian tertentu pada waktu gelar Mesias digunakan untuk Yesus;  kedua kejadian ini terjadi pada awal pelayanan-Nya. Suatu masalah timbul karena menurut Yohanes, murid-murid pertama langsung mengenal Yesus sebgai Mesias, sedangkan kitab-kitab Injil Sinoptik tidak memperlihatkan kesadaran ini sebelum peristiwa pengakuan di Kaisarea Filipi. Para ahli menyelesaikan masalah ini dengan menganggap bahwa Yohanes pada bagian-bagian ini tidak menyajikan tradisi yang otentik, tetap merupakan suatu interpretasi yang dipaksakan terhadap tradisi itu. Penggunaan gelar Mesias:
-          Perempuam Samaria (Yoh 4:25), karena bagi orang-orang Samaria, gelar itu tidak akan menimbulkan salah pengertian kearah politik seperti halnya dengan orang-orang Yahudi.
-          Andreas yang memberitahu Petrus saudaranya kami telah menemukan Mesias (Yoh 1:41).
-          Filipus memberi tahu Natanael kami telah menemukan Dia, yang diasebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi (Yoh 1:45).
Haruslah diingat bahwa tujuan dari tulisan Yohanes ialah supaya para pembaca percaya bahwa Yesus adalah Kristus, Anak Allah (Yoh 20:31).
d.      Kisah Para Rasul
Pernyataan pertama dalam jemaat mula-mula pada hari Pentakosta mencapai puncaknya dalam penegasan bahwa “Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus” (Kis 2:36). Jelaslah pernyataan ini penting karena merupakan pernyataan yang pertama tentang Kristus kepada masyarakat umum sejak kebangkitan-Nya. Hubungan antara ketuhanan dengan kemesiasan itu penting, karena memperlihatkan bahwa pada awal jemaat Kristen, satu gelar saja dianggap tidak cukup untuk menggambarkan status Yesus.
e.       Paulus
Cara Paulus memperlihatkan tentang siapa Yesus sangat berbeda dengan penyajian dalam kitab-kitab Injil, dan perbedaan itu disebabkan oleh kebangkitan Yesus. Mesias yang menderita dalam kitab-kitab Injil menjadi Kristus yang hidup dan yang menang dalam surat-surat Paulus, tetapi Ia tetap Mesias. Gelar Yesus Kristus atau Kristus Yesus hanyalah persesuaian bentuk dari Yesus sang Mesias. Pada waktu Paulus menulis misi Mesias telah diselesaikan. Ia mengembangkan pikirannya sendiri mengenai pengertian Mesias dengan cara pandang yang baru, yang didasari oleh penggenapan dalam Kristus yang telah bangkit, yang telah memulai suatu kerajaan rohani.
Gagasan tentang Mesias sebagai Raja dari keturunan Daud dapat ditelusuri dari janji Allah kepada Daud dalam 2 Samuel 7:16, “keluarga dan kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya.” Janji ini merupakan dasar dari nubuat para nabi yang berhubungan dengan kerajaan Mesias, dan menjelaskan bagaimana pengharapan akan kerajaan yang dipulihkan di bawah Mesias dapat dilihat sebagai penggenapan dari janji ilahi kepada Daud. Daud menjadi istilah yang berarti Israel yang dipulihkan.
C.    HAMBA
1.      Latar belakang
Konsep Hamba Allah langsung berasal dari nyanyian tentang Hamba dalam kitab Yesaya, jadi perikop-perikop dalam kitab Yesaya merupakan ttitk tolak yang jelas untuk menelusuri keterangan latarbelakangnya (Yes 41:8-20; 42:1-9; 49:1-7; 52:13-53:12).
Ungkapan bahasa Yunani pais theou dapat berarti “Anak Allah” atau “Hamba Allah.” Pada masa antara PL & PB ungkapan tersebut mempunyai arti “Hamba Allah”. Penggunaan ungkapan ini meneruskan penggunaan kata ẻvẻd atau ẻvẻd Yhwh dalam PL yaitu kata “hamba” dipakai dengan makna religius. Ada banyak perdebatan mengenai pengertian tentang siapakah Hamba yang dimaksud dalam nyayian-nayayian ini, apakah ia merupakan seorang pribadi atau mewakili bangsa Israel secara keseluruhan. Dalam PB walaupun pandang yang mendukung bahwa yang dimaksudkan adalah seorang pribadi kelihatannya lebih mungkin. Tentu saja tugas hamba dalam perikop ini dapat dimengerti jikalau yang dimaksud ialah pribadi yang dipanggil Allah dan dipenuhi Roh Kudus.
a.      Pentingnya gelar “Hamba” untuk kristologi
Jeremias 1957 menemukan sebutan-sebutan berikut yang dipakai unutk sehubungan dengan tema “Hamba.”
-          ho pais (Hamba)
-          ho huios tou theou (Anak Allah.
-          ho amnos tou theou (Anak Domba Allah).
-          to arnion (Anak Domba)
-          ho ekletos, ho eklegmenos (Yang Terpilih)
-          ho agapệtos (Yang Dikasihi)
-          ho dikaios (Yang Benar)
Gelar-gelar yang didapat semuanya sejalan dengan pandangan bahwa baik Yesus maupun orang-orang Kristen mula-mula mengakui Yesus sebgai Hamba.
D.    Anak Manusia
1.      Kitab-kitab Injil Sinoptik
Dari semua gelar Yesus dalam kitab-kitab Injil Sinoptik, gelar ‘Anak Manusia’ merupakan gelar yang paling penting dan juga paling membingungkan. Lagi pula, gelar tersebut hanya dipakai oleh Yesus sendiri, sehingga langsung timbul pertanyaan mengenai apa yang Ia maksudkan dengan gelar itu. Disini kita dapat melihat lima pengertian yang mungkin untuk penggunaan gelar Anak Manusia:
a.       Sebutan-sebutan setiap Anak Manusia dalam setiap kategori mungkin asli, karena itu hal tersebut memperlihatkan pandangan Yesus sendiri mengenai identitas-Nya.
b.      Semua sebutan Anak Manusia merupakan gelar yang diberikan oleh masyarakat Kristen dan tidak mencerminkan pandangan Yesus mengenai diri-Nya sendiri.
c.       Hanya sebutan-sebutan Anak Manusia yang mengarah pada masa yang akan datang saja yang dapat dipercaya.
d.      Hanya sebutan-sebutan Anak Manusia yang ditujukan pada masa yang akan datang saja yang dapat dipercayai, tetpi Yesus menganggap diri-Nya sebgai Anak Manusia sorgawi yang akan dinyatakan pada penyempurnaan masa kini.
e.       Sebutan-sebutan Anak Manusia yang mengarah pada kehidupan Yesus di dunia saja yang dapat dipercaya.
Gelar Anak Manusia dihubungkan dengan berbagi unsur yang hanya mendapat arti berdasarkan satu anggapan pokok, bahwa Yesus berpikir tentang diri-Nya sebgai Mesias sorgawi yang menggenapi suatu pelyanan di dunia demi manusia, yang akan mencapai puncaknya dalam kemuliaan yang terakhir. Dengan penjelasan ini dapatlah dimengerti mengapa Yesus tidak meggunakan gelar Mesias untuk menjelaskan misi-Nya, karena pekerjaan-  Nya bukanlah bersifat politik melainkan bersifat rohani.
Selanjutnya mengingat kesukaran yang sudah melekat pada gagasan tentang Mesias yang menderita dalam pemikiran orang-orang zaman itu, dan keasdaran Yesus sendiri bahwa misi rohani-Nya hanya dapat diselesaikan melalui penderitaan dan kematian, maka kelihatannya masuk akal untuk berpendapat bahwa dalam pikiran-Nya Ia menyamakan diri-Nya dengan Hamba yang menderita itu. Ia menggunakan gelar Anak Mausia itu bukan demi kepentingan para pendengar-Nya, tetapi unutk menggabungkan dalam pikiran-Nya beberapa hal yang membuat misi-Nya bersifat unik. Sebenarnya Ia mengartikan kembali gagasan tentang Mesias sampai murid-murid-Nya dapat menyamakan Anak Manusia dengan Yesus sang Mesias.
E.     Tuhan
Kata kurios (‘tuan’) digunakan pada masa PB sebagai gelar kehormatan yang diberikan kepada seseorang yang lebih tinggi kedudukannya. Gelar itu juga digunakan sebagai sebutan untuk kaisar Roma atau dewa kafir. Karena itu gelar ini digunakan secara meluas oleh orang-orang bukan Yahudi. Tetapi gelar itu mempunyai arti khusus bagi orang-orang Yahudi karena sering digunakan dalam LXX sebagai terjemahan kata Ibrani Adonay, yang sering digunakan sebagai pengganti kata Yhwh.
1.      Kitab-kitab Injil Sinoptik
Sebutan Kurios bagi Yesus dalam kitab-kitab Injil Sinoptik sering dimaksudkan sebagai gelar kehormatan. Dalam Matius 21:3 (=Mrk 11:3 = Luk 19:31) Yesus menyuruh murid-murid-Nya untuk memberitahukan pemilik keledai itu demikian, “Tuhan memerlukannya.” Pernyataan ini mungkin menunjukkan bahwa Yesus dikenal sebagai ‘Tuhan’ dalam masa hidup-Nya, tetapi mungkin murid-murid-Nya akan menganggap sebutan ini tidak lebih dari suatu gelar penghormatan. Nampaknya mungkin sekali, bahwa pemilik keledai itu telah mempunyai hubungan sebelumnya dengan Yesus. Dalam hal ini sebutan ‘Tuhan’ mungkin sama dengan ‘Tuan’ atau ‘Guru’.
2.      Tulisan-tulisan Yohanes
Injil Yohanes mencerminkan pola dasar yang sama yaitu penggunaan gelar kurios itu secara non-teologis sebelum kebangkitan dan secara teologis sesudah kebangkitan.
3.      Kisah Para Rasul
Dalam Kisah Para Rasul, gelar Tuhan khususnya disukai oleh Lukas dalam menceritakan perbuatan-perbuatan dan pengajaran-pengajaran dari jemaat mula-mula. Dalam khotbah Peturs dalam Kis. 2:36, terdapat pernyataan bahwa “Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus.” Ketuhanan disini berarti hak kekuasaan pemerintahan sorgawi yang diperoleh Yesus, sebagai kontras yang nyata dengan Yesus yang disalibkan. Dalam khotbah Petrus kepada Kornelius, sehubungan dengan firman yang memberitakan damai sejahtera oleh Yesus Kristus, ia berkata, “Dia adalah Tuhan dari semua orang” (Kis. 10:36). Inilah pandangan yang luar biasa mengenai ketuhanan Yesus, yang menyatakan bahwa Ia memiliki hak penuh kekuasaan pemerintahan sorgawi.
4.      Paulus
-          Ungkapan marana tha dalam 1 Korintus 16:22. Marana tha  berasal dari bahasa Aram dan lazimnya diterjemahkan “Tuhan kami, datanglah.” Bentuk ini merupakan suatu perkataan orang-orang Kristen mula-mula yang telah menjadi semacam ungkapan yang sudah dikenal di antara orang-orang bukan Yahudi.
-          Pengakuan iman mula-mula (Rm. 10:9; 1 Kor. 12:3). “Yesus adalah Tuhan” dan percaya bahwa Allah telah membangkitkan dia dari antara orang mati. Ketuhanan tidak akan mempunyai arti jika terpisah dari kebangkitan.
-          Pengakuan ketuhan secara umum (Flp. 2:11).  “Yesus Kristus adalah Tuhan.”
Paulus memakai gelar “Tuhan” 275 kali, berarti 38% dari seluruh penggunaan gelar itu dalam PB yang adalah 718 kali.[1] Sebagian besar surat-surat Paulus ditujukan kepada jemaat yang hidup dalam kebudayaan Yunani waktu itu, dimana sebutan “Tuan” amat sering dipakai tidak hanya untuk seorang bangsawan, melainkan juga untuk pribadi yang lebih tinggi, yakni dewa. Memberitakan Yesus sebagai Tuhan akan sangat berarti dalam dunia Yunani pada waktu itu. Begitupun dengan para pembaca Yahudi, karena pada waktu PL diterjemahkan ke dalam bahwasa Yunani, kata tersebut dipakai untuk menerjemahkan nama ilahi “Yahweh.”
F.     Anak Allah
1.      Kitab-kitab Injil Sinoptik
Penggunaan gelar ‘Anak Allah’ bersama dengan ‘Mesias’ (Mat. 16:16; bnd Mrk. 8:29; Luk. 9:20; Mat. 26:63-64=Mrk 14:61-62; Luk 22:66).
2.      Tulisan-tulisan Yohanes
Tujuan penulisan Injil Yohanes dinyatakan secara khusus agar para pembaca dapat percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah (Yoh 20:31), karena itu tidaklah mengherankan bila ditemukan lebih banyak penekanan pada konsep Anak Allah daripada mengenai Anak Manusia. Gelar itu sendiri muncul beberapa kali, tetapi lebih penting lagi ialah penggunaan mutlak dari hubungan Bapa-Anak yang meresapi kata-kata Yesus dalam Injil ini. Kesadaran-Nya sebagai Anak senantiasa hadir di manapun Ia berada.
Keunikan Yesus sebagai Anak Allah, seperti dalam Yoh 1:12, orang-orang lain mungkin diberi kuasa untuk menjadi anak-anak Allah tetapi Yesus tidak memerlukannya karena Ia adalah Anak yang berbeda macamnya; Ia adalah Anak secara hakiki. Sebagai Anak Allah, Yesus memiliki sifat-sifat yang khusus. Pertama, Anak itu diutus oleh Bapa (Yoh 3:34; 5:36,38; 7:29; 11:42). Kasih Bapa bagi Anak, dalam Yoh 5:20 menyebutkan bahwa kasih Bapa bagi Anak mendorong Bapa menunjukkan segala sesuatu yang dikerjakan-Nya  kepada Anak.  Ketergantungan Anak kepada Bapa (Yoh 5:19). Anak yang berdoa kepada Bapa (Yoh 11:41). Anak menyatakan Bapa (Yoh 6:46). Anak menyampaikan kata-kata Bapa (Yoh 10:18). Bapa telah menyerahkan segala sesuatu kepada Anak (Yoh 13:3). Kembali kepada Bapa (Yoh 14:28).
3.      Paulus
‘Anak’ dalam teologi Paulus dikaitkan dengan misi Yesus secara keseluruhan. Pada waktu Allah bertindak untuk menyelamatkan manusia, Ia mengutus Anak-Nya (Gal 4:4). Paulus juga membuat suatu pernyataan yang terkenal dalam Roma 8:3, yang menghubungkan keadaan sebagai Anak Allah dengan Yesus yang datang serupa dengan daging yang berdosa. 1 Kor 15:28, memperjelas keadaan Yesus sebagai Anak Allah, dan keadaan Anak yang berada di bawah Bapa, artinya penyerahan Anak dalam pelayanan yang sempurna demi kepentingan misi.
4.      Surat Ibrani
Dalam surat Ibrani, ‘Anak Allah’ dibahas lebih sungguh-sungguh. Didalamnya Anak yang dimuliakan merupakan pusat perhatian dari keseluruhan surat ini. Anak melakukan peranan yang merupakan hak-hak istimewa dari Allah dan juga merupakan alat yang sempurna untuk memperkenalkan Allah.

G.    Gelar-Gelar Kristus Yang Lain
Yesus sebagai nabi dan guru. Luk 4:24 Yesus secara tidak langsung menerangkan gelar ‘nabi’ itu pada diri-Nya. Ada banyak hal dalam pelayanan Yesus yang sesuai dengan peranan seorang nabi. Pengajaran-Nya berpusat pada pernyataan Kerajaan Allah. Ia disebut rabi, yang menunjukkan bahwa Ia secara popular dianggap sebagai guru yang berkuasa, walaupun secara resmi Ia tidak dikenal demikian. Tetapi dalam pelayanan pengajaran-Nya, Ia bergerak lebih jauh, tidak hanya sekedar memproklamasikan Kerajaan seperti yang dilakukan oleh nabi-nabi terdahulu. Dia sendirilah nabi yang akan datang itu, seorang pembuka zaman baru.
Logos. Dalam Injil Yohanes, terdapat 3 sifat Yesus Kristus yang ditekankan dalam peran-Nya sebagai logos. Pertama, Yohanes kembali pada pemikiran tentang keadaan sebelum penciptaan untuk menggambarkan hubungan Yesus dengan Bapa. Kedua, Yohanes menerangkan sedikit tentang hubungan antara logos dengan dunia. Ketiga, ialah hubungan logos dengan manusia. Dalam surat-surat Paulus, tidak ada penekanan yang sama mengenai logos sebagai gelar, namun terdapat beberapa segi yang sejajar. Bagi Paulus, sebagaimana bagi Yohanes, Kristus ada sebelum segala sesuatu ada, yang merupakan wakil penciptaan dan yang telah menjadi manusia (bnd. Kol 1:15 dst; Flp 2:5 dst.). Paulus secara khusus memperlihatkan Kristus sebagai Hikmat (1 Kor 1:30 dst.).
“Aku adalah.” Tujuh kali dalam Injil Yohanes Yesus menggunakan bentuk ‘Aku adalah’ untuk menggambarkan diri-Nya. Ucapan-ucapan ini meliputi pemekaian kata-kata kiasan yang luas, yaitu roti (Yoh 6:35); terang (Yoh 8:12); pintu (Yoh 10:7); gembala (Yoh 10:11); kebangkitan dan hidup (Yoh 11:25); jalan, kebenaran, hidup (Yoh 14:6); anggur (Yoh 15:1). Dalam setiap hal, ‘Aku adalah’ menjelaskan peran-peran tertentu dari Yesus, yaitu untuk menguatkan, menyinari, mengakui, memelihara, memberi hidup, membimbing. Dalam kitab Wahyu perkataan ‘Aku adalah’ terdapat dalam ungkapan Alfa dan Omega dalam Wahyu 1:8. Yesus juga disebut sebagai ‘Adam yang akhir (Roma 5:12 dst dan 1 Kor 15).
Dalam bukunya Teologi Perjanjian Baru, Loen Morris juga menyebutkan beberapa gelar Yesus seperti “Juruselamat”, “Raja”, “Hakim”, “Nabi.”
Kesan keseluruhan dari penyelidikan yang saksama mengenai gelar-gelar Kristus menguatkan pandangan bahwa Yesus yang hidup dan melayani di dunia dengan cepat dikenal dalam status kebangkitan-Nya sebagai Allah dan juga sebagai manusia.

H.    Syair-Syair Pujian Tentang Kristus
Filipi 2:6-11; Kolose 1:15-20; 1 Timotius 3:16; Ibrani 1:2-3 dan 1 Petrus 3:18-20 adalah perikop-perikop yang memiliki nilai yang khusus karena menunjukkan secara khusus beberapa gagasan yang tercakup dalam gelar-gelar Kristus. Syair-syair pujian ini juga menyajikan suatu kristologi yang tinggi yang tidak membiarkan adanya keraguan bahwa Yesus adalah Allah dan juga manusia. Penting bahwa perikop-perikop ini yang dihubungkan dengan keadaan Yesus yang dimuliakan juga menekankan kehinaan-Nya. Gagasan seperti “tanpa merebut” dari Filipi 2, “gambar” dan “kepenuhan” dari Kolose 1 dan “cahaya kemuliaan Allah” dari Ibrani 1 membuat tidak mungkin untuk memandang Yesus sebagai seorang manusia saja. Apa saja penjelasan dari misteri inkarnasi, setiap pandangan yang tidak mendukung sifat dan status Yesus yang dimulikan adalah tidak sesuai dengan PB.

I.       Peristiwa-Peristiwa Kristologis
1.      Kelahiran dari anak dara
Mujizat istimewa ini adalah unik. Dalam beberapa hal, mujizat ini dihubungkan dengan mujizat kristologi yang besar lainnya, yaitu kebangkitan Yesus. Jika kebangkitan itu dapat terjadi, maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa kelahiran dari anak dar adalah tidak mungkin. Kelahiran dari anak dara tidak dimaksudkan untuk mempertahankan keadaan Yesus yang tidak berdosa, walaupun kelahiran dari anak dara itu adalah sesuai dengan ajaran itu. Ketidakberdosaan itu disaksikan dalam ayat-ayat lain (mis. 2 Kor 5:21; Ibr 7:26; 1 Ptr 1:19). Bukan kelahiran dari anak dara itu sendiri yang menjamin kehidupan yang tanpa dosa tetapi hal ini dijamin oleh karya Roh Kudus dalam kelahiran itu. Pengertian secara harfiah mengenai kisah kelahiran ini, sangat sesuai dengan PB secara umum mengenai Kristus sebagai Anak Allah, yang juga adalah seorang manusia yang sempurna. Tidaklah dapat dikatakan bahwa inkarnasi adalah mustahil tanpa kelahiran dari anak dara, karena Allah mampu melakukannya dengan cara lain. Tetapi dapat dan harus dikatakan bahwa kelahiran Yesus dari anak dara benar-benar sesuai dengan sifat seorang yang menjadi manusia walaupun Ia setara dengan Allah (Flp 2:6).
2.      Kebangkitan
Makna utama dari kebangkitan ialah kontribusi yang diberikannya bagi pengertian kita mengenai pribadi dan pekerjaan Kristus. Kita hanya dapat percaya bahwa Kristus yang sudah ada sebelum segala sesuatu itu telah menjadi manusia, jika kebangkitan merupakan peristiwa yang sungguh terjadi. Kepercayaan akan kebangkitan sebagai peristiwa yang benar terjadi merupakan dasar satu-satunya yang dapat menjamin kesinambungan yang diperlukan bila kita membela ajran tentang Yesus sebagai Allah dan juga manusia.
Salah satu factor yang paling penting artinya dalam pengertian orang-orang Kristen mula-mula mengenai kebangkitan ialah sorotannya terhadap ajaran mengenai Allah. Tindakan kebangkitan selalu merupakan tindakan Allah. Walaupun Yesus menyatakan diri-Nya berkuasa untuk mengambil nyawa-Nya kembali setelah memberikannya (Yoh 10:1), namun PB tidak memberi kesan bahwa kebangkitan itu merupakan tindakan Kristus sendiri tanpa bergantung kepada Allah. Kuasa dibelakangnya ialah kuasa Allah dan kebangkitan Kristus dianggap sebagai pamerean tertinggi dari kuasa ilahi. Dengan tindakan itu lingkaran kematian dan pengrusakan dalam kehidupan manusia yang tidak pernah berhenti sudah dikekang. Allah telah menyediakan jalan keluar dari kematian menuju hidup, dengan membangkitkan Anak-Nya sendiri dari kemaitan. Kebangkitan merupakan bagian yang penting dari rencana Allah untuk penebusan umat manusia.
Kebangkitan juga menghubungkan pribadi Kristus dengan pekerjaan-Nya. Kebangkitan mengungkapkan kepuasan Allah dengan apa yang telah dilakukan oleh Kristus. Pengagungan pribadi Kristus menjelaskan bahwa misi-Nya berhasil baik. Kebangkitan sangatlah diperlukan untuk keselamatan manusia. Kebangkitan itu merupakan dasar keyakinan bahwa kristus menaruh perhatian yang terus-menerus pada kesejahteraan umat-Nya dan mendoakan mereka.
3.      Kenaikan
Makna teologis dari kenaikan, yaitu:
-          Pelengkap bagi kebangkitan
-          Permulaan pengagungan dan penobatan
-          Permulaan pelayanan sebagai pengantara
-          Penggenapan misi Allah
-          Kristus memenuhi segala sesuatu
-          Penganugerahan Roh Kudus
-          Terbukanya jalan masuk bagi orang-orang percaya
-          Permulaan zaman yang baru.



BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Yesus adalah Anak Allah yang datang untuk menyelamatkan manusia, sekaligus memperlihatkan Yesus sebagai manusia yang sempurna. Penulis-penulis Perjanjian Baru menyebut Yesus dengan berbagai gelar yang layak bagi Yesus sendiri, diantaranya “Mesias,” “Hamba,” “Anak Manusia,” “Tuhan,” “Anak Allah,” “Nabi dan Guru,” “Logos,” serta pemekaian kata-kata kiasan yang luas, yaitu roti (Yoh 6:35); terang (Yoh 8:12); pintu (Yoh 10:7); gembala (Yoh 10:11); kebangkitan dan hidup (Yoh 11:25); jalan, kebenaran, hidup (Yoh 14:6); anggur (Yoh 15:1). Dia adalah Alfa dan Omega.
Peristiwa-peristiwa Kristologis yakni kelahiran, kebangkitan serta kenaika-Nya memiliki makna teologis yaitu Kristus sebagai Anak Allah, yang juga adalah seorang manusia yang sempurna. Kebangkitan merupakan dasar keyakinan bahwa kristus menaruh perhatian yang terus-menerus pada kesejahteraan umat-Nya dan mendoakan mereka. Dan kenaikan-Nya merupakan pelengkap bagi kebangkitan, permulaan pengagungan dan penobatan, permulaan pelayanan sebagai pengantara, penggenapan misi Allah, Kristus memenuhi segala sesuatu, penganugerahan Roh Kudus, terbukanya jalan masuk bagi orang-orang percaya, dan permulaan zaman yang baru.



DAFTAR PUSTAKA

Guthrie, Donald. 2008. Teologi Perjanjian Baru 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Morris, Leon. 2006. Teologi Perjanjian Baru. Malang: Gandum Mas


[1]   Morris, Leon. 2006. Teologi Perjanjian Baru. Malang: Gandum Mas. 50.

KELUARGA YANG TIDAK MEMILKI ANAK

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latarbelakang
Keluarga adalah istilah yang tidak asing lagi bagi kita. Bahkan kehidupan kita tidak pernah lepas dari yang namanya keluarga, tentu dalam artian yang luas. Keluarga merupakan lembaga masyarakat yang paling kecil tetapi paling penting. Di dalamnya terdapat anak-anak yang dipersiapkan untuk bertumbuh. Keluarga pertama yang diciptakan Allah adalah keluarga Adam dan Hawa (Kej. 1:27-28). Kemudian keluarga Nuh, Abraham, keluarga Ishak dan Yakub menurunkan bangsa Israel.
Layaknya kehidupan yang tidak pernah “datar”, begitu pula dengan keluarga. Masalah demi masalah akan trus datang baik dari dalam maupun dari luar keluarga itu sendiri. Sebagai orang Kristen, kita mengamini bahwa rancangan Tuhan itu selalu mendatangkan damai sejahtera. Sehingga ketika Tuhan mengijinkan sebuah keluarga menghadapi suatu masalah ataupun pergumulan, itu semua bukan untuk menghancurkan kebahagiaan mereka. Melainkan untuk pengujian iman mereka agar lebih dewasa lagi.
Ada begitu banyak masalah yang dihadapi oleh keluarga, mulai dari pernikahan, mendapatkan anak, masalah pendidikan, masalah-masalah keluarga lainnya yang memang akan timbul dengan sendirinya dan selanjutnya mempersiapkan diri untuk merelakan anak membentuk suatu rumah tangga yang baru. Semua itu menjadi  semacam siklus masalah dalam keluarga.
Dalam pernikahan, setiap manusia normal pasti menginginkan kehadiran anak atau anak-anak di tengah-tengah keluarga. Bahkan bukan hanya orang yang sudah menikah yang memiliki keinginan untuk mempunyai anak, seorang pemuda pun bisa saja memiliki keingingan seperti ini meskipun ia belum menikah. Kehadiran anak sebagai anugerah Tuhan memberikan kebahagiaan tersendiri bagi keluarga. Suami dan isteri akan merasa semakin lengkap dengan hadirnya anak. Lalu bagaimana dengan keluarga yang belum juga dikaruniai anak? Pastilah keluarga seperti ini akan mengalami tekanan baik dari segi sosial maupun psikis.
Makalah yang berjudul “KELUARGA YANG TIDAK MEMILIKI ANAK” ini akan menjawab pertanyaan di atas dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya.
B.     Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini selain untuk memenuhi tugas akhir semester dalam mata kuliah PAK Dewasa/Keluarga, yaitu untuk mengetahui:
1.      Hakekat keluarga
2.      Masalah-masalah dalam keluarga
3.      Kajian sosiologi, psikologi dan teologi terhadap masalah keluarga.

C.    Rumusan Masalah
1.      Apa hakekat keluarga
2.      Masalah-masalah apa saja yang akan muncul dalam kehidupan keluarga
3.      Bagaimana ilmu sosiologi, psikologi dan teologi mengambil bagian dalam permasalahan keluarga.

D.    Batasan Masalah
Sesuai dengan judul, makalah ini hanya terbatas pada masalah keluarga yang tidak memiliki anak.

E.     Manfaat
Adapun manfaat makalah ini, yaitu:
1.      Manfaat Akademis/Teoritis
Menambah bahan pembelajaran Pendidikan Agama Kristen khususnya bagi keluarga dan permasalahannya.
2.      Manfaat Praktis
Membantu kita dalam pemahaman yang benar tentang keluarga agar terhindar dari hal-hal yang bersifat negative bila menemui permasalahan yang serupa, juga bisa membantu orang di sekitar kita yang mungkin mengalami permasalahan ini.
BAB II
KAJIAN TEORI TENTANG KELUARGA
A.    Pengertian Keluarga
Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta "kulawarga". Kata kula berarti "ras" dan warga yang berarti "anggota". Keluarga adalah lingkungan di mana terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah. Keluarga sebagai kelompok sosial terdiri dari sejumlah individu, memiliki hubungan antar individu, terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab di antara individu tersebut.
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Menurut Salvicion dan Celis (1998) di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.
Dr. Kenneth Chafin dalam bukunya Is There a Family in the House? Memberikan gembaran tentang maksud keluarga dalam lima identifikasi:
1.      Keluarga merupakan tempat untuk bertumbuh, menyangkut tubuh, akal budi, hubungan social, kasih dan rohani.
2.      Keluarga merupakan pusat pengembangan semua aktivitas
3.      Keluarga merupakan tempat yang aman untuk berteduh saat ada badai kehidupan.
4.      Keluarga merupakan tempat untuk mentransfer nilai-nilai, laboratorium hidup bagi setiap anggota keluarga dan saling belajar hal yang baik.
5.      Keluarga merupakan tempat meunculnya permasalahan dan penyelesaiannya.
Alkitab menyatakan bahwa keluarga terbentuk apabila seorang laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, maka keduanya menjadi satu daging dan mereka dipersatukan Allah dan tidak boleh diceraikan oleh manusia (Mat. 19:5-6).
B.     Tipe keluarga
Ada beberapa tipe keluarga yakni keluarga inti yang terdiri dari suami, istri, dan anak atau anak-anak, keluarga konjugal yang terdiri dari pasangan dewasa (ibu dan ayah) dan anak-anak mereka, dimana terdapat interaksi dengan kerabat dari salah satu atau dua pihak orang tua. Selain itu terdapat juga keluarga luas yang ditarik atas dasar garis keturunan di atas keluarga aslinya. Keluarga luas ini meliputi hubungan antara paman, bibi, keluarga kakek, dan keluarga nenek.
C.    Peran Anggota keluarga
Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut:
Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.
Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.
Anak-anak melaksanakan melaksanakan tugas, membahagiakan orang tua dan mengembangkan potensi diri.
D.    Fungsi Keluarga
Fungsi yang dijalankan keluarga adalah :
1.      Fungsi Pendidikan dilihat dari bagaimana keluarga mendidik dan menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak.
2.      Fungsi Sosialisasi anak dilihat dari bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.
3.      Fungsi Perlindungan dilihat dari bagaimana keluarga melindungi anak sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman.
4.      Fungsi Perasaan dilihat dari bagaimana keluarga secara instuitif merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota yang lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama anggota keluarga. Sehingga saling pengertian satu sama lain dalam menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga.
5.      Fungsi Agama dilihat dari bagaimana keluarga memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga lain melalui kepala keluarga menanamkan keyakinan yang mengatur kehidupan kini dan kehidupan lain setelah dunia.
6.      Fungsi Ekonomi dilihat dari bagaimana kepala keluarga mencari penghasilan, mengatur penghasilan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi rkebutuhan-kebutuhan keluarga.
7.      Fungsi Rekreatif dilihat dari bagaimana menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga, seperti acara nonton TV bersama, bercerita tentang pengalaman masing-masing, dan lainnya.
8.      Fungsi Biologis dilihat dari bagaimana keluarga meneruskan keturunan sebagai generasi selanjutnya.
9.      Memberikan kasih sayang, perhatian,dan rasa aman diaantara keluarga, serta membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga.

E.     Masalah-Masalah yang Dihadapi Keluarga
Tidak ada rumah tangga yang tidak memiliki masalah. Itulah rumus baku yang diyakini semua konsultan keluarga. Tapi yang membedakan yaitu bagaimana sikap masing-masing keluarga dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Masalah yang timbul secara normal dalam kehidupan keluarga, yaitu dari pernikahan, menjadi orang tua, berpisah dengan anak-anak yang sudah menikah sampai Tuhan memanggil mereka. Masalah yang timbul dari luar keluarga, seperti tekanan masyarakat dan perubahan-perubahan social, politik, ekonomi dan budaya. Selain hal-hal yang disebutkan di atas, belum hadirnya seorang anak dalam keluarga sementara pernikahan telah berlangsung selama bertahun-tahun pun merupakan suatu permasalahan yang banyak ditemukan dalam suatu keluarga.


BAB III
KELUARGA YANG TIDAK MEMILKI ANAK

Pada bahasan sebelumnya kita telah membahas akan fungsi-fungsi keluarga. Dalam setiap fungsi seolah-olah yang menjadi pusat adalah anak. Lalu bagaimana dengan keluarga yang tidak memiliki anak, apakah suatu keluarga akan kehilangan fungsinya?
A.    Anak dan Keluarga
Kehadiran anak dalam sebuah perkawinan merupakan dambaan bagi suami-istri, karena anak mempunyai nilai tersendiri bagi keluarga. Adanya anak dalam suatu keluarga sudah merupakan salah satu kebutuhan bagi orang tua, baik sebagai kebutuhan ekonomi, sosial, dan psikologi. Konsep nilai anak yang dimiliki oleh setiap keluarga umumnya telah mendasar dan menjadi bagian dari hidup mereka. Menurut Hoffman (1973:26) bahwa nilai anak berkaitan dengan fungsi anak terhadap orang tua atau kebutuhan orang tua yang akan di penuhinya. Keberadaan anak dalam suatu keluarga berfungsi sebagai penyambung garis keturunan, penerus tradisi keluarga, curahan kasih sayang (hidup akan terasa berarti, keluarga menjadi lengkap dan tugas suami istri telah terpenuhi secara psikologis), hiburan dan jaminan hari tua.
Nilai anak dari segi psikologis yaitu anak dapat lebih mengikat tali perkawinan. Pasangan suami istri merasa lebih puas dalam perkawinan dengan melihat perkembangan emosi dan fisik anak. Kehadiran anak juga telah mendorong komunikasi antara suami istri karena mereka merasakan pengalaman bersama anak mereka. Kehadiran anak akan menghangatkan suasana sepi di rumah serta akan mengurangi ketegangan dan kelelahan setelah seharian bekerja (anak sebagai sumber kasih sayang). Anak dapat menimbulkan rasa aman dan hal ini biasanya dialami oleh orang tua yang memiliki anak laki-laki karena mereka merasa bahwa mereka sudah memiliki anak laki-laki yang nantinya akan menggantikannya kelak dalam melaksanakan kewajiban adat, di lingkungan kerabat maupun masyarakat. Selain itu anak juga dirasakan dapat menghibur orang tuanya memberikan dorongan untuk lebih semangat lagi bekerja karena sudah memiliki tanggungan.
Nilai anak dari segi sosial yaitu anak merupakan anak dapat meningkatkan status seseorang. Pada beberapa masyarakat, individu baru mempunyai hak suara setelah ia memiliki anak. Anak merupakan penerus keturunan. Untuk mereka yang menganut sistem patrilineal, seperti Cina, Korea, Taiwan, dan Suku Batak, adanya anak laki-laki sangat diharapkan karena anak laki-laki akan meneruskan garis keturunan yang diwarisi lewat nama keluarga. Keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki dianggap tidak memiliki garis keturunan, dan keluarga itu dianggap akan punah. Anak merupakan pewaris harta pusaka. Bagi masyarakat yang menganut sistem matrilineal, anak perempuan selain sebagai penerus keturunan, juga bertindak sebagai pewaris dan penjaga harta pusaka yang diwarisinya. Sedangkan anak laki-laki hanya mempunyai hak guna atau hak pakai. Sebaliknya, pada masyarakat yang menganut sistem patrilineal, anak laki-lakilah yang mewariskan harta pusaka.
Inilah mengapa kehadiran anak sangat diidam-idamkan dalam sebuah keluarga. Memiliki anak akan menimbulkan masalah baru bagi keluarga begitu juga dengan keluarga yang tidak memiliki anak. Perasaan rendah diri, rasa bersalah dan tertekan bisa dialami oleh keluarga yang tidak memiliki anak dalam usaha mereka untuk memiliki anak atau juga dalam menerima kenyataan tidak mendapatkan anak biologis.

B.     Ketika Anak Tidak Juga Hadir Dalam Keluarga
Berat memang, menerima kenyataan bahwa pernikahan yang telah dijalani selama bertahun-tahun belum juga dapat membuahkan keturunan. Kerinduan akan hadirnya seorang bayi mungil pun akhirnya menjadi siksaan yang banyak menyelimuti pasangan suami istri. Dan tidak dapat dipungkiri, omongan tetangga, teman, dan saudara pun akhirnya senantiasa terdengar negatif.
Tekanan demi tekanan pun akan dirasakan begitu menyakitkan baik bagi isteri maupun bagi suami. Keluarga yang tidak memiliki anak sering di “cap” sebagai keluarga yang mandul. Bagi sebagian orang kemandulan ini dikarenakan dosa masa lalu dari isteri dan suami. Hal ini tentu saja akan menimbulkan tekanan bagi suami dan isteri sehingga mulai ada perasaan minder, rasa bersalah, bisa menjadi alasan untuk saling menyalahkan dan akhirnya alasan untuk bercerai sekalipun keluarga Kristen tidak diijinkan untuk bercerai, karena perceraian bukanlah jalan keluar yang diberikan Tuhan kepada keluarga yang memiliki permasalahan misalnya tidak memiliki anak. selain itu, keluarga yang tidak memiliki anak akan merasa gagal dalam kehidupan keluarga mereka. Hal ini akan menimbulkan rasa tidak bersyukur dengan apa yang telah Tuhan anugerahkan bagi keluarga.
Hidup dalam ikatan pernikahan selama bertahun-tahun tanpa kehadiran seorangpun buah hati, buah cinta yang menjadi kebanggan memang tidaklah mudah. Namun demikian, berputus asa dan rendah diri bukanlah satu jalan keluar yang terbaik yang harus ditempuh. Bersedih, mungkin itu satu hal yang wajar. Namun berputus asa, itu bukanlah jalan keluar. Hadapi kenyataan tersebut dengan lapang dada, karena biar bagaimanapun itulah kenyataan yang memang harus dihadapi.
Umunya, pasangan suami istri akan memiliki anak dalam kurun waktu satu tahun pernikahan. Hal ini terjadi pada 85% pasangan suami istri. Untuk itu, ketika belum juga memiliki seorang anak sementara usia pernikahan masih berada di bawah usia satu tahun, hendaknya tidak terlalu cemas. Tetaplah berpikir positif dan logis. Jangan terburu-buru memvonis bahwa sang istri atau suami tidak subur atau mandul.
Jangan Saling Menyalahkan. Untuk memiliki seorang anak bukanlah menjadi harapan seorang suami atau istri saja, melainkan harapan kedua belah pihak. Karena salah satu tujuan dari pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan (anak). Untuk itu, manakala sang anak yang ditunggu-tunggu kehadirannya tidak juga datang, hendaknya tidak saling menyalahkan antara suami dan istri.
Dalam hal ini, istri adalah pihak yang paling banyak disalahkan. Ketika mereka tidak juga mendapatkan seorang anak, suami seketika memvonis bahwa istrinya tidak subur atau mandul. Padahal, belum tentu yang mandul tersebut adalah sang istri, boleh jadi justru suamilah yang tidak subur atau mandul. Untuk itu, hendaknya dalam hal ini baik suami maupun istri tidak saling menyalahkan satu sama lain sebelum semuanya jelas, karena baik suami maupun istri masih memiliki kemungkinan bermasalah (mandul) yang sama, 50%-50%.
Konsultasikan masalah tersebut kepada dokter ahli, agar dapat diketahui permasalahannya dan kemudian sama-sama mencari jalan keluar yang terbaik.
Cek Kesuburan. Dalam pemeriksaan kesuburan, biasanya hasil untuk suami lebih cepat ketimbang hasil pemeriksaan istri. Pemeriksaan bagi suami adalah berkaitan mengenai jumlah sperma yang dihasilkan, bagaimana gerakan sperma serta kondisi sperma. Sedangkan pemeriksaan kesuburan untuk istri biasanya meliputi masalah apakah ada sel telur yang dihasilkan dan apakah saluran untuk sperma menuju sel telur terbuka. Bagi wanita yang kondisi haidnya lancar, kemungkinan besar ia memiliki sel telur yang normal.
Jika hasil pemeriksaan kesuburan menunjukkan bahwa suami dan isteri normal, bukan berarti keluarga ini juga akan memperoleh keturunan dengan segera. Banyak hal lain yang dapat menjadi faktor pengaruh dalam masalah ini.
C.    Kajian Sosiologi
Dalam kebudayaan Barat, anak tidak lagi menjadi syarat terciptanya keutuhan keluarga. Anak tidak lagi merupakan alat perekat bagi kesatuan keluarga. Kehadiran seorang anak ditengah-tengah keluarga direncanakan bila persiapan mental dan keadaan materi suami isteri sudah memungkinkan penambahan anggota keluarga baru. Namun dalam kebudayaan Timur, status anak dipandang sebagai pemberian yang akan membawa rejekinya sendiri, pandangan banyak anak banyak rejeki.
Masih terdapat berbagai pendapat pribadi mengenai anak dan perlu atau tidaknya seorang anak dalam suatu keluarga. Seringkali sepasang suami isteri mengambil keputusan untuk berpisah dengan tujuan mengambil pasangan hidup lain. Keputusan berpisah yang didasarkan pendapat bahwa pernikahan yang tidak dikaruniai anak tidak dapat dipertahankan lebih lama. Ada pula pangan suami isteri yang mencari kepuasan seksui di luar pernikahan dengan alasan “hampanya” pernikahan mereka tanpa anak. Lain pendapat menganjurkan “perkawinan percobaan”, yang baru akan disahkan dalam pernikahan bila telah berhasil memastikan kemungkinan adanya keturunan. Dari pendapat-pendapat ini dapat disimpulkan bahwa adanya anak di dalam keluarga merupakan factor yang penting. Tetapi mungkin pula “tidak adanya anak” hanya merupakan factor yang dikambinghitamkan sebagai alasan untuk membenarkan kekurangan dirinya dan sebab perceraian.
Tidak memiliki anak sering juga mendapat cemooh dari orang-orang disekitar, baik tetangga maupun rekan kerja. Tapi yang penting disini yaitu bagaimana kita menyikapi akan hal ini. Hendaknya tidak menjadikan cemoohan itu sebagai jurang penghancur harapan dan kebahagiaan dalam keluarga.
Tidak memiliki anak juga bukan berarti fungsi sosial dalam keluarga tidak berlaku. Karena anak bukanlah satu-satunya tujuan pernikahan.
D.    Kajian Teologi
Berikut ini adalah beberapa ayat yang menjelaskan anak dari perpektif Allah. Anak adalah hadiah dari Allah (Kejadian 4:1; Kejadian 33:5). Anak adalah warisan dari Tuhan (Mazmur 127:3-5). Anak adalah berkat dari Tuhan (Lukas 1:42). Anak adalah mahkota orang-orang tua (Amsal 17:6). Allah memberkati perempuan-perempuan mandul dengan anak-anak (Mazmur 113:9; Kejadian 21:1-3; 25:21-22; 30:1-2; 1 Samuel 1:6-8; Lukas 1:7, 24-25). Allah membentuk anak-anak dalam kandungan (Mazmur 139:13-16). Allah mengetahui anak-anak sebelum mereka dilahirkan (Yeremia 1:5; Galatia 1:15).
Sebuah keluarga terdiri atas orang yang mempedulikan Allah dan memperhatikan satu sama lain. Hubungan keluarga adalah suatu bagian penting dalam rumah tangga. Salah satu sarana Allah bagi kebahagiaan umat manusia adalah sebuah rumah tangga atau keluarga. Suami istri bersama-sama mengambil bagian dalam kesukaan dan kesedihan mereka, pekerjaan dan rekreasi, persoalan-persoalan dan kesuksesan. Rumah tangga merupakan sekolah bagi orang tua maupun bagi anak-anak, di mana mereka dapat belajar kesabaran pengertian dan menenggang orang lain. Keluarga adalah tempat perlindungan dari ketengan dan persoalan yang dihadapi manusia sehari-hari dalam pekerjaannya. Kasih, kedamaian dan kehadiran Allah dalam rumah tangga Kristen menyegarkan dan menguatkan baik suami maupun istri untuk memikul tanggung jawab mereka di luar rumah.
Salah satu tugas pokok dalam rumah tangga adalah membuat persiapan untuk kelahiran dan perkembangan anak-anak. Tanggung jawab yang dipikul bersama sebagai orang tua menarik suami istri ke dalam hubungan yang lebih akrab sementara mereka setiap hari mencari bimbingan Tuhan bagi kehidupan mereka. Anak-anak di dalam rumah tangga menyempurnakan kesukaan dan kepuasan pernikahan.
Ini tidak berarti bahwa Allah menahan berkat-Nya dari suami istri yang tidak dikaruniai anak. Alkitab tidak memberikan hak kepada seorang suami untuk meninggalkan istrinya, mengusirnya, atau menikah lagi dengan orang lain karena istrinya mandul. Demikian pula Alkitab tidak member hak kepada istri untuk meninggalkan suaminya, yang dipersalahkannya karena kemandulannya. Cacat jasmani di dalam suami atau istri yang mencegah lahirnya anak-anak, tidak boleh dijadikan alas an untuk bercerai.
Alkitab memberikan contoh-contoh mengenai suami istri yang tidak dikaruniai anak, dan bagaimana Allah menjawab doa mereka. Imam Zakharia berada di Bait Allah ketika malaikat Tuhan Nampak kepadanya untuk memberitahukan bahwa doanya telah didengar dan Elisabet akan mempunyai anak laki-laki (Lukas 1:13). Hana berdoa memohon seorang anak laki-laki dan Allah memberikan Samuel kepadanya, yang menjadi seorang pemimpin yang perkasa di Israel (I Samuel 1:11-13). Banyak suami istri yang tidak mempunyai anak telah mengangkat anak. Allah memberkati mereka ketika mereka menyediakan sebuah rumah untuk anak-anak kecil ni. Suatu kasih yang dalam dan tahan lama dapat dikembangkan antara anak-anak dan orang tua yang mengangkat mereka dan dapat mendatangkan sukacita besar kepada satu sama lain.
E.     Tujuan pernikahan
Kekecewaan suami dan istri yang tidak memiliki anak menimbulkan rasa tidak bersyukur dan bukan tidak mungkin menghakimi Tuhan tidak adil  dalam kehidupan pernikahan mereka. Keluarga seperti ini sangat memerlukan bimbingan dan pemahaman kembali akan apa sebenarnya tujuan dari pernikahan Kristen. Apakah anak merupakan tujuan satu-satunya dari pernikahan?
Pernikahan dan keluarga yang bahagia tidaklah tergantung pada adanya anak, sebab anak bukanlah penentu dari keluarga yang bahagia. Ini merupakan prinsip yang harus kita pegang dan taati dengan sungguh-sungguh. Sewaktu kedua mempelai mengucapkan janji pernikahan, janji itu bukanlah untuk mendapatkan anak, melainkan untuk menghidupkan persekutuan yang mungkin diraih dalam saling melengkapi dan menyempurnakan satu dengan yang lain. Dalam pernikahan, kita dapat mengalami, membagi dan menikmati sukacita, cinta kasih dan persekutuan berdasarkan pemberian Tuhan kepada kita masing-masing.
Karena itu tujuan pernikahan bukanlah hanya untuk mendapatkan anak, tetapi melalui pernikahan, sepasang suami-istri mungkin dikaruniai anak oleh Tuhan. Pernikahan merupakan satu-satunya jalur yang sah untuk mendapatkan anak. Dengan demikian hidup bahagia tidak diletakkan atas dasar ada atau tidaknya anak.
Alkitab selalu memperlihatkan bahwa mempunyai anak adalah hal yang baik. Alkitab “mengharapkan” suami dan isteri memiliki anak. Ketidakmampuan untuk memperoleh anak selalu diperlihatkan dalam Alkitab sebagai hal yang buruk. Tidak ada seorangpun dalam Alkitab yang menyatakan keinginan untuk tidak memiliki anak.
Untuk mengetahui tujuan pernikahan yang benar, kita harus melihat dari perspektif Allah yang berinisiatif merancang dan membentuk institusi pernikahan. Hal ini bisa kita ketahui dari dua pasal pertama dalam Alkitab. Apakah tujuan Allah menciptakan laki-laki dan perempuan?
Tujuan utama adalah merefleksikan kejamakan dan ketunggalan dalam diri Allah. Kejadian 1:26 menyatakan, “Baiklah Kita (jamak) menjadikan (tunggal) manusia...”. Bagaimana kita menjelaskan bentuk jamak dan tunggal dalam ayat ini? Untuk memahami hal ini kita harus memperhatikan konteks ayat 26-27 secara lebih seksama. Perhatikan dua ayat berikut ini:
Kej 1:27 Maka Allah menciptakan manusia (tunggal) itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia (tunggal); laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka (jamak).
Kej 5:1b-2a Pada waktu manusia (tunggal) itu diciptakan oleh Allah, dibuat-Nyalah dia (tunggal) menurut rupa Allah; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka (jamak).
Dari dua ayat di atas terlihat bahwa manusia – yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah – diciptakan sebagai kesatuan dalam kejamakan. Tidak heran di Kejadian 2:18 Allah melihat kesendirian manusia sebagai sesuatu yang tidak baik. Selanjutnya, setelah Allah menciptakan kejamakan manusia (laki-laki dan perempuan), Ia menghendaki supaya mereka berada dalam kesatuan yang utuh (Kej 2:23-24 “mereka akan menjadi satu tubuh”). Apa yang tergambar dalam penciptaan manusia sebagai gambar dan rupa Allah turut merefleksikan keberadaan Allah yang ‘jamak tapi tunggal’.
Tujuan selanjutnya dari pernikahan adalah melayani Allah. Ketika Allah menciptakan Adam dan Hawa, Ia memberikan tugas khusus yang harus dikerjakan mereka berdua, yaitu supaya mereka berkuasa atas ciptaan lain (Kej 1:26). Tugas ini diulangi lagi di Kejadian 1:28, tetapi kali ini lebih eksplisit. Allah memberikan berkat dan perintah di ayat 28, yaitu memiliki keturunan → memenuhi bumi → menaklukkan bumi. Dari sini kita bisa melihat bahwa perintah untuk berkembang biak dan memenuhi bumi hanyalah sarana untuk melakukan tujuan akhir yang ditetapkan Allah, yaitu menguasai bumi. Di sinilah manusia memainkan peranan penting sebagai gambar Allah yang mewakili Allah menguasai bumi. Penjelasan di atas juga sesuai dengan Kejadian 2:18. Dalam ayat ini Allah menilai kesendirian Adam sebagai sesuatu yang tidak baik. Adam membutuhkan seorang penolong. Pertanyaannya, penolong dalam hal apa? Mengapa Adam perlu ditolong? Berdasarkan konteks yang ada, pertolongan ini diperlukan Adam untuk menjalankan perintah Allah di Kejadian 1:28 atau Kejadian 2:15-17. Manapun yang benar di antara dua kemungkinan ini, kita tetap bisa melihat bahwa Hawa diciptakan bagi Adam sebagai mitra untuk melayani Allah atau melaksanakan perintah-Nya.
Dua tujuan pernikahan yang sudah dijelaskan di atas dapat dirangkum dalam satu kalimat “kita menikah untuk memuliakan Allah”. Allah yang merancang dan membangun pernikahan; Dia juga yang berhak menentukan tujuan pernikahan hanya bagi diri-Nya. Kita menikah semata-mata bukan untuk kebahagiaan kita, keluarga kita, pasangan kita maupun anak-anak kita. Kita menikah untuk memuliakan Allah.


BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa keluarga yang tidak memiliki anak tidak bisa dikatakan sebagai keluarga yang gagal. Karena tujuan dari pernikahan bukanlah semata-mata hanya untuk mendapatkan anak, melainkan untuk kemuliaan nama Tuhan. Bagaimana Allah dimuliakan dalam keluarga tersebut lewat kehidupan suami dan isteri yang senantiasa mensyukuri akan berkat-berkat Tuhan sekalipun mereka tidak memiliki anak biologis. Sebuah keluarga bisa mengadopsi anak yatim piatu atau juga anak dari saudara keluarga tersebut. Dan ini merupakan cara Tuhan agar bisa berbagi kasih sayang dengan sesama yang membutuhkan, dalam hal ini anak yatim yang membutuhkan kasih sayang dari orang tua.
Tidak memiliki anak bukan berarti keluarga itu kehilangan fungsinya. Karena anak bukanlah tujuan satu-satunya pernikahan. Belum dikaruniai anak atau tidak dikaruniai anak biologis, menyadarkan manusia bahwa kehidupan ini ada yang mengatur. Manusia tidak bisa hidup sesuai dengan kehendaknya sendiri. Akan ada keinginan-keinginan manusia yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Namun bukan berarti dalam hal keinginan untuk memiliki anak tidak sesuai dengan kehendak Allah. Allh punya cara-Nya sendiri dalam melaksanakan kehendak-Nya. Ia memiliki rancangan-Nya sendiri bagi kehidupan setiap keluarga.

B.     Saran
Contohnya dalam Alkitab misalnya Abraham yang dijanjikan keturunan oleh Allah sendiri namun butuh waktu yang lama untuk mendapatkannya, setelah mendapatkan anak, masih juga Allah menguji Abraham untuk mempersembahkan anaknya sebagai korban bagi Allah. Keluarga Hana, Elizabeth dan Zakharia dan masih banyak lagi contoh-contoh dalam Alkitab yang bisa menjadi teladan dan keluarga-keluarga yang tidak memiliki anak namun tidak kehilangan pengaharapan mereka kepada Tuhan.
Bagi kita yang dalam perencanaan menuju pada pernikahan, kiranya benar-benar memahami apa arti dan tujuan dari pernikahan Kristen. Sehingga berbagai kemungkinan yang dapat kita bayangkan kedepan, bukan lagi suatu alasan untuk kita tidak bersyukur kepada Tuhan. Ataupun saling menyalahkan pasangan kita karena masalah seperti ini.
Terus berpengharapan didalam Tuhan, karena Tuhan tidak akan mengecewakan kita ketika kita benar-benar menyakini akan rancangan-Nya yang mendatangkan damai sejahtera.


DAFTAR PUSTAKA

Alkitab Terjemahan Baru. 2000. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Kristianto, Paulus. Prinsip dan Praktik Pendidikan Agama Kristen. 2006. Yogyakarta: ANDI.
Soelaeman, M.I. Pendidikan Dalam Keluarga. 1994. Bandung: CV ALFABETA.
Gunarsa, Singgih. Psikologi Untuk Keluarga. 2009. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Gunarsa, Singgih. Asas-asas Psikologi. 2009. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Ahmadi, Abu. Sosiologi Pendidikan. 2007. Jakarta: Rineka Cipta.
Ismail, Andar. Ajarlah Mereka Melakukan. 2003. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Lahaye, Tim. Kebahagiaan Pernikahan Kristen. 2002. Jakarta: Gunung Mulia.