BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang
Keluarga
adalah istilah yang tidak asing lagi bagi kita. Bahkan kehidupan kita tidak
pernah lepas dari yang namanya keluarga, tentu dalam artian yang luas. Keluarga
merupakan lembaga masyarakat yang paling kecil tetapi paling penting. Di
dalamnya terdapat anak-anak yang dipersiapkan untuk bertumbuh. Keluarga pertama
yang diciptakan Allah adalah keluarga Adam dan Hawa (Kej. 1:27-28). Kemudian
keluarga Nuh, Abraham, keluarga Ishak dan Yakub menurunkan bangsa Israel.
Layaknya
kehidupan yang tidak pernah “datar”, begitu pula dengan keluarga. Masalah demi
masalah akan trus datang baik dari dalam maupun dari luar keluarga itu sendiri.
Sebagai orang Kristen, kita mengamini bahwa rancangan Tuhan itu selalu
mendatangkan damai sejahtera. Sehingga ketika Tuhan mengijinkan sebuah keluarga
menghadapi suatu masalah ataupun pergumulan, itu semua bukan untuk
menghancurkan kebahagiaan mereka. Melainkan untuk pengujian iman mereka agar
lebih dewasa lagi.
Ada
begitu banyak masalah yang dihadapi oleh keluarga, mulai dari pernikahan,
mendapatkan anak, masalah pendidikan, masalah-masalah keluarga lainnya yang
memang akan timbul dengan sendirinya dan selanjutnya mempersiapkan diri untuk
merelakan anak membentuk suatu rumah tangga yang baru. Semua itu menjadi semacam siklus masalah dalam keluarga.
Dalam
pernikahan, setiap manusia normal pasti menginginkan kehadiran anak atau
anak-anak di tengah-tengah keluarga. Bahkan bukan hanya orang yang sudah
menikah yang memiliki keinginan untuk mempunyai anak, seorang pemuda pun bisa
saja memiliki keingingan seperti ini meskipun ia belum menikah. Kehadiran anak
sebagai anugerah Tuhan memberikan kebahagiaan tersendiri bagi keluarga. Suami
dan isteri akan merasa semakin lengkap dengan hadirnya anak. Lalu bagaimana
dengan keluarga yang belum juga dikaruniai anak? Pastilah keluarga seperti ini
akan mengalami tekanan baik dari segi sosial maupun psikis.
Makalah
yang berjudul “KELUARGA YANG TIDAK MEMILIKI ANAK” ini akan menjawab pertanyaan
di atas dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya.
B.
Tujuan
Adapun
tujuan pembuatan makalah ini selain untuk memenuhi tugas akhir semester dalam
mata kuliah PAK Dewasa/Keluarga, yaitu untuk mengetahui:
1. Hakekat
keluarga
2. Masalah-masalah
dalam keluarga
3. Kajian
sosiologi, psikologi dan teologi terhadap masalah keluarga.
C.
Rumusan
Masalah
1. Apa
hakekat keluarga
2. Masalah-masalah
apa saja yang akan muncul dalam kehidupan keluarga
3. Bagaimana
ilmu sosiologi, psikologi dan teologi mengambil bagian dalam permasalahan
keluarga.
D.
Batasan
Masalah
Sesuai
dengan judul, makalah ini hanya terbatas pada masalah keluarga yang tidak
memiliki anak.
E.
Manfaat
Adapun
manfaat makalah ini, yaitu:
1. Manfaat
Akademis/Teoritis
Menambah
bahan pembelajaran Pendidikan Agama Kristen khususnya bagi keluarga dan
permasalahannya.
2. Manfaat
Praktis
Membantu
kita dalam pemahaman yang benar tentang keluarga agar terhindar dari hal-hal
yang bersifat negative bila menemui permasalahan yang serupa, juga bisa
membantu orang di sekitar kita yang mungkin mengalami permasalahan ini.
BAB II
KAJIAN TEORI TENTANG KELUARGA
A.
Pengertian
Keluarga
Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta "kulawarga". Kata kula berarti
"ras" dan warga yang berarti "anggota". Keluarga
adalah lingkungan di mana terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan
darah. Keluarga sebagai kelompok sosial terdiri dari sejumlah individu, memiliki hubungan antar individu, terdapat ikatan,
kewajiban, tanggung jawab di antara individu tersebut.
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri
atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu
tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Menurut Salvicion dan Celis (1998) di dalam keluarga
terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau
pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain
dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.
Dr. Kenneth Chafin dalam bukunya Is There a Family in the House? Memberikan gembaran tentang maksud
keluarga dalam lima identifikasi:
1. Keluarga merupakan tempat untuk
bertumbuh, menyangkut tubuh, akal budi, hubungan social, kasih dan rohani.
2. Keluarga merupakan pusat
pengembangan semua aktivitas
3. Keluarga merupakan tempat yang aman
untuk berteduh saat ada badai kehidupan.
4. Keluarga merupakan tempat untuk
mentransfer nilai-nilai, laboratorium hidup bagi setiap anggota keluarga dan
saling belajar hal yang baik.
5. Keluarga merupakan tempat meunculnya
permasalahan dan penyelesaiannya.
Alkitab menyatakan bahwa keluarga terbentuk apabila seorang
laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, maka keduanya
menjadi satu daging dan mereka dipersatukan Allah dan tidak boleh diceraikan
oleh manusia (Mat. 19:5-6).
B.
Tipe
keluarga
Ada beberapa tipe keluarga yakni keluarga inti yang terdiri dari suami, istri, dan anak atau anak-anak, keluarga
konjugal yang
terdiri dari pasangan dewasa (ibu dan ayah) dan anak-anak mereka, dimana
terdapat interaksi dengan kerabat dari salah satu atau dua pihak orang tua.
Selain itu terdapat juga keluarga luas yang ditarik atas dasar garis keturunan
di atas keluarga aslinya. Keluarga luas ini meliputi hubungan
antara paman, bibi, keluarga kakek, dan keluarga nenek.
C.
Peran
Anggota keluarga
Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah
sebagai berikut:
Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari
nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari
kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.
Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai
peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik
anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya
serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu
dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.
Anak-anak melaksanakan melaksanakan tugas, membahagiakan
orang tua dan mengembangkan potensi diri.
D.
Fungsi
Keluarga
Fungsi yang dijalankan keluarga adalah :
1. Fungsi Pendidikan dilihat dari bagaimana keluarga mendidik dan menyekolahkan
anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak.
2.
Fungsi
Sosialisasi anak dilihat dari bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi
anggota masyarakat yang baik.
3.
Fungsi
Perlindungan dilihat dari bagaimana keluarga melindungi anak sehingga anggota
keluarga merasa terlindung dan merasa aman.
4.
Fungsi
Perasaan dilihat dari bagaimana keluarga secara instuitif merasakan perasaan
dan suasana anak dan anggota yang lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi
antar sesama anggota keluarga. Sehingga saling pengertian satu sama lain dalam
menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga.
5.
Fungsi
Agama dilihat dari bagaimana keluarga memperkenalkan dan mengajak
anak dan anggota keluarga lain melalui kepala keluarga menanamkan keyakinan
yang mengatur kehidupan kini dan kehidupan lain setelah dunia.
6.
Fungsi
Ekonomi dilihat dari bagaimana kepala keluarga mencari penghasilan,
mengatur penghasilan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi
rkebutuhan-kebutuhan keluarga.
7.
Fungsi
Rekreatif dilihat dari bagaimana menciptakan suasana yang menyenangkan dalam
keluarga, seperti acara nonton TV bersama, bercerita tentang pengalaman
masing-masing, dan lainnya.
8.
Fungsi
Biologis dilihat dari bagaimana keluarga meneruskan keturunan
sebagai generasi selanjutnya.
9.
Memberikan
kasih sayang, perhatian,dan rasa aman diaantara keluarga, serta membina
pendewasaan kepribadian anggota keluarga.
E.
Masalah-Masalah
yang Dihadapi Keluarga
Tidak ada rumah
tangga yang tidak memiliki masalah. Itulah rumus baku yang diyakini semua
konsultan keluarga. Tapi yang membedakan yaitu bagaimana sikap masing-masing
keluarga dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Masalah yang
timbul secara normal dalam kehidupan keluarga, yaitu dari pernikahan, menjadi
orang tua, berpisah dengan anak-anak yang sudah menikah sampai Tuhan memanggil
mereka. Masalah yang timbul dari luar keluarga, seperti tekanan masyarakat dan
perubahan-perubahan social, politik, ekonomi dan budaya. Selain hal-hal yang
disebutkan di atas, belum hadirnya seorang anak dalam keluarga sementara
pernikahan telah berlangsung selama bertahun-tahun pun merupakan suatu
permasalahan yang banyak ditemukan dalam suatu keluarga.
BAB III
KELUARGA YANG TIDAK MEMILKI ANAK
Pada
bahasan sebelumnya kita telah membahas akan fungsi-fungsi keluarga. Dalam
setiap fungsi seolah-olah yang menjadi pusat adalah anak. Lalu bagaimana dengan
keluarga yang tidak memiliki anak, apakah suatu keluarga akan kehilangan
fungsinya?
A.
Anak
dan Keluarga
Kehadiran
anak dalam sebuah perkawinan merupakan dambaan bagi suami-istri, karena anak
mempunyai nilai tersendiri bagi keluarga. Adanya anak dalam suatu keluarga
sudah merupakan salah satu kebutuhan bagi orang tua, baik sebagai kebutuhan
ekonomi, sosial, dan psikologi. Konsep nilai anak yang dimiliki oleh setiap
keluarga umumnya telah mendasar dan menjadi bagian dari hidup mereka. Menurut
Hoffman (1973:26) bahwa nilai anak berkaitan dengan fungsi anak terhadap orang
tua atau kebutuhan orang tua yang akan di penuhinya. Keberadaan anak dalam
suatu keluarga berfungsi sebagai penyambung garis keturunan, penerus tradisi
keluarga, curahan kasih sayang (hidup akan terasa berarti, keluarga menjadi
lengkap dan tugas suami istri telah terpenuhi secara psikologis), hiburan dan
jaminan hari tua.
Nilai
anak dari segi psikologis yaitu anak dapat lebih mengikat tali perkawinan.
Pasangan suami istri merasa lebih puas dalam perkawinan dengan melihat
perkembangan emosi dan fisik anak. Kehadiran anak juga telah mendorong
komunikasi antara suami istri karena mereka merasakan pengalaman bersama anak
mereka. Kehadiran anak akan menghangatkan suasana sepi di rumah serta akan
mengurangi ketegangan dan kelelahan setelah seharian bekerja (anak sebagai
sumber kasih sayang). Anak dapat menimbulkan rasa aman dan hal ini biasanya
dialami oleh orang tua yang memiliki anak laki-laki karena mereka merasa bahwa
mereka sudah memiliki anak laki-laki yang nantinya akan menggantikannya kelak
dalam melaksanakan kewajiban adat, di lingkungan kerabat maupun masyarakat.
Selain itu anak juga dirasakan dapat menghibur orang tuanya memberikan dorongan
untuk lebih semangat lagi bekerja karena sudah memiliki tanggungan.
Nilai
anak dari segi sosial yaitu anak merupakan anak dapat meningkatkan status
seseorang. Pada beberapa masyarakat, individu baru mempunyai hak suara setelah
ia memiliki anak. Anak merupakan penerus keturunan. Untuk mereka yang menganut
sistem patrilineal, seperti Cina, Korea, Taiwan, dan Suku Batak, adanya anak
laki-laki sangat diharapkan karena anak laki-laki akan meneruskan garis keturunan
yang diwarisi lewat nama keluarga. Keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki
dianggap tidak memiliki garis keturunan, dan keluarga itu dianggap akan punah.
Anak merupakan pewaris harta pusaka. Bagi masyarakat yang menganut sistem
matrilineal, anak perempuan selain sebagai penerus keturunan, juga bertindak
sebagai pewaris dan penjaga harta pusaka yang diwarisinya. Sedangkan anak
laki-laki hanya mempunyai hak guna atau hak pakai. Sebaliknya, pada masyarakat
yang menganut sistem patrilineal, anak laki-lakilah yang mewariskan harta
pusaka.
Inilah
mengapa kehadiran anak sangat diidam-idamkan dalam sebuah keluarga. Memiliki
anak akan menimbulkan masalah baru bagi keluarga begitu juga dengan keluarga
yang tidak memiliki anak. Perasaan rendah diri, rasa bersalah dan tertekan bisa
dialami oleh keluarga yang tidak memiliki anak dalam usaha mereka untuk
memiliki anak atau juga dalam menerima kenyataan tidak mendapatkan anak biologis.
B.
Ketika
Anak Tidak Juga Hadir Dalam Keluarga
Berat memang,
menerima kenyataan bahwa pernikahan yang telah dijalani selama bertahun-tahun
belum juga dapat membuahkan keturunan. Kerinduan akan hadirnya seorang bayi
mungil pun akhirnya menjadi siksaan yang banyak menyelimuti pasangan suami
istri. Dan tidak dapat dipungkiri, omongan tetangga, teman, dan saudara pun
akhirnya senantiasa terdengar negatif.
Tekanan demi
tekanan pun akan dirasakan begitu menyakitkan baik bagi isteri maupun bagi
suami. Keluarga yang tidak memiliki anak sering di “cap” sebagai keluarga yang
mandul. Bagi sebagian orang kemandulan ini dikarenakan dosa masa lalu dari
isteri dan suami. Hal ini tentu saja akan menimbulkan tekanan bagi suami dan
isteri sehingga mulai ada perasaan minder, rasa bersalah, bisa menjadi alasan
untuk saling menyalahkan dan akhirnya alasan untuk bercerai sekalipun keluarga
Kristen tidak diijinkan untuk bercerai, karena perceraian bukanlah jalan keluar
yang diberikan Tuhan kepada keluarga yang memiliki permasalahan misalnya tidak
memiliki anak. selain itu, keluarga yang tidak memiliki anak akan merasa gagal
dalam kehidupan keluarga mereka. Hal ini akan menimbulkan rasa tidak bersyukur
dengan apa yang telah Tuhan anugerahkan bagi keluarga.
Hidup dalam ikatan
pernikahan selama bertahun-tahun tanpa kehadiran seorangpun buah hati, buah
cinta yang menjadi kebanggan memang tidaklah mudah. Namun demikian, berputus
asa dan rendah diri bukanlah satu jalan keluar yang terbaik yang harus
ditempuh. Bersedih, mungkin itu satu hal yang wajar. Namun berputus asa, itu
bukanlah jalan keluar. Hadapi kenyataan tersebut dengan lapang dada, karena
biar bagaimanapun itulah kenyataan yang memang harus dihadapi.
Umunya,
pasangan suami istri akan memiliki anak dalam kurun waktu satu tahun
pernikahan. Hal ini terjadi pada 85% pasangan suami istri. Untuk itu, ketika
belum juga memiliki seorang anak sementara usia pernikahan masih berada di
bawah usia satu tahun, hendaknya tidak terlalu cemas. Tetaplah berpikir positif
dan logis. Jangan terburu-buru memvonis bahwa sang istri atau suami tidak subur
atau mandul.
Jangan Saling
Menyalahkan. Untuk memiliki seorang anak bukanlah menjadi harapan seorang suami
atau istri saja, melainkan harapan kedua belah pihak. Karena salah satu tujuan
dari pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan (anak). Untuk itu, manakala
sang anak yang ditunggu-tunggu kehadirannya tidak juga datang, hendaknya tidak
saling menyalahkan antara suami dan istri.
Dalam hal ini,
istri adalah pihak yang paling banyak disalahkan. Ketika mereka tidak juga
mendapatkan seorang anak, suami seketika memvonis bahwa istrinya tidak subur
atau mandul. Padahal, belum tentu yang mandul tersebut adalah sang istri, boleh
jadi justru suamilah yang tidak subur atau mandul. Untuk itu, hendaknya dalam
hal ini baik suami maupun istri tidak saling menyalahkan satu sama lain sebelum
semuanya jelas, karena baik suami maupun istri masih memiliki kemungkinan
bermasalah (mandul) yang sama, 50%-50%.
Konsultasikan
masalah tersebut kepada dokter ahli, agar dapat diketahui permasalahannya dan
kemudian sama-sama mencari jalan keluar yang terbaik.
Cek Kesuburan.
Dalam pemeriksaan kesuburan, biasanya hasil untuk suami lebih cepat ketimbang
hasil pemeriksaan istri. Pemeriksaan bagi suami adalah berkaitan mengenai
jumlah sperma yang dihasilkan, bagaimana gerakan sperma serta kondisi sperma.
Sedangkan pemeriksaan kesuburan untuk istri biasanya meliputi masalah apakah
ada sel telur yang dihasilkan dan apakah saluran untuk sperma menuju sel telur
terbuka. Bagi wanita yang kondisi haidnya lancar, kemungkinan besar ia memiliki
sel telur yang normal.
Jika hasil
pemeriksaan kesuburan menunjukkan bahwa suami dan isteri normal, bukan berarti keluarga
ini juga akan memperoleh keturunan dengan segera. Banyak hal lain yang dapat
menjadi faktor pengaruh dalam masalah ini.
C.
Kajian
Sosiologi
Dalam
kebudayaan Barat, anak tidak lagi menjadi syarat terciptanya keutuhan keluarga.
Anak tidak lagi merupakan alat perekat bagi kesatuan keluarga. Kehadiran
seorang anak ditengah-tengah keluarga direncanakan bila persiapan mental dan
keadaan materi suami isteri sudah memungkinkan penambahan anggota keluarga
baru. Namun dalam kebudayaan Timur, status anak dipandang sebagai pemberian
yang akan membawa rejekinya sendiri, pandangan banyak anak banyak rejeki.
Masih terdapat
berbagai pendapat pribadi mengenai anak dan perlu atau tidaknya seorang anak
dalam suatu keluarga. Seringkali sepasang suami isteri mengambil keputusan
untuk berpisah dengan tujuan mengambil pasangan hidup lain. Keputusan berpisah
yang didasarkan pendapat bahwa pernikahan yang tidak dikaruniai anak tidak
dapat dipertahankan lebih lama. Ada pula pangan suami isteri yang mencari
kepuasan seksui di luar pernikahan dengan alasan “hampanya” pernikahan mereka
tanpa anak. Lain pendapat menganjurkan “perkawinan percobaan”, yang baru akan
disahkan dalam pernikahan bila telah berhasil memastikan kemungkinan adanya
keturunan. Dari pendapat-pendapat ini dapat disimpulkan bahwa adanya anak di
dalam keluarga merupakan factor yang penting. Tetapi mungkin pula “tidak adanya
anak” hanya merupakan factor yang dikambinghitamkan sebagai alasan untuk
membenarkan kekurangan dirinya dan sebab perceraian.
Tidak memiliki
anak sering juga mendapat cemooh dari orang-orang disekitar, baik tetangga
maupun rekan kerja. Tapi yang penting disini yaitu bagaimana kita menyikapi
akan hal ini. Hendaknya tidak menjadikan cemoohan itu sebagai jurang penghancur
harapan dan kebahagiaan dalam keluarga.
Tidak memiliki
anak juga bukan berarti fungsi sosial dalam keluarga tidak berlaku. Karena anak
bukanlah satu-satunya tujuan pernikahan.
D.
Kajian
Teologi
Berikut ini
adalah beberapa ayat yang menjelaskan anak dari perpektif Allah. Anak adalah
hadiah dari Allah (Kejadian 4:1; Kejadian 33:5). Anak adalah warisan dari Tuhan
(Mazmur 127:3-5). Anak adalah berkat dari Tuhan (Lukas 1:42). Anak adalah
mahkota orang-orang tua (Amsal 17:6). Allah memberkati perempuan-perempuan
mandul dengan anak-anak (Mazmur 113:9; Kejadian 21:1-3; 25:21-22; 30:1-2; 1
Samuel 1:6-8; Lukas 1:7, 24-25). Allah membentuk anak-anak dalam kandungan
(Mazmur 139:13-16). Allah mengetahui anak-anak sebelum mereka dilahirkan
(Yeremia 1:5; Galatia 1:15).
Sebuah keluarga
terdiri atas orang yang mempedulikan Allah dan memperhatikan satu sama lain.
Hubungan keluarga adalah suatu bagian penting dalam rumah tangga. Salah satu
sarana Allah bagi kebahagiaan umat manusia adalah sebuah rumah tangga atau
keluarga. Suami istri bersama-sama mengambil bagian dalam kesukaan dan
kesedihan mereka, pekerjaan dan rekreasi, persoalan-persoalan dan kesuksesan.
Rumah tangga merupakan sekolah bagi orang tua maupun bagi anak-anak, di mana
mereka dapat belajar kesabaran pengertian dan menenggang orang lain. Keluarga
adalah tempat perlindungan dari ketengan dan persoalan yang dihadapi manusia
sehari-hari dalam pekerjaannya. Kasih, kedamaian dan kehadiran Allah dalam
rumah tangga Kristen menyegarkan dan menguatkan baik suami maupun istri untuk
memikul tanggung jawab mereka di luar rumah.
Salah satu
tugas pokok dalam rumah tangga adalah membuat persiapan untuk kelahiran dan
perkembangan anak-anak. Tanggung jawab yang dipikul bersama sebagai orang tua
menarik suami istri ke dalam hubungan yang lebih akrab sementara mereka setiap
hari mencari bimbingan Tuhan bagi kehidupan mereka. Anak-anak di dalam rumah
tangga menyempurnakan kesukaan dan kepuasan pernikahan.
Ini tidak
berarti bahwa Allah menahan berkat-Nya dari suami istri yang tidak dikaruniai
anak. Alkitab tidak memberikan hak kepada seorang suami untuk meninggalkan
istrinya, mengusirnya, atau menikah lagi dengan orang lain karena istrinya
mandul. Demikian pula Alkitab tidak member hak kepada istri untuk meninggalkan
suaminya, yang dipersalahkannya karena kemandulannya. Cacat jasmani di dalam
suami atau istri yang mencegah lahirnya anak-anak, tidak boleh dijadikan alas
an untuk bercerai.
Alkitab
memberikan contoh-contoh mengenai suami istri yang tidak dikaruniai anak, dan
bagaimana Allah menjawab doa mereka. Imam Zakharia berada di Bait Allah ketika
malaikat Tuhan Nampak kepadanya untuk memberitahukan bahwa doanya telah
didengar dan Elisabet akan mempunyai anak laki-laki (Lukas 1:13). Hana berdoa
memohon seorang anak laki-laki dan Allah memberikan Samuel kepadanya, yang
menjadi seorang pemimpin yang perkasa di Israel (I Samuel 1:11-13). Banyak suami
istri yang tidak mempunyai anak telah mengangkat anak. Allah memberkati mereka
ketika mereka menyediakan sebuah rumah untuk anak-anak kecil ni. Suatu kasih
yang dalam dan tahan lama dapat dikembangkan antara anak-anak dan orang tua
yang mengangkat mereka dan dapat mendatangkan sukacita besar kepada satu sama
lain.
E.
Tujuan pernikahan
Kekecewaan suami dan istri yang tidak
memiliki anak menimbulkan rasa tidak bersyukur dan bukan tidak mungkin
menghakimi Tuhan tidak adil dalam
kehidupan pernikahan mereka. Keluarga seperti ini sangat memerlukan bimbingan
dan pemahaman kembali akan apa sebenarnya tujuan dari pernikahan Kristen.
Apakah anak merupakan tujuan satu-satunya dari pernikahan?
Pernikahan dan
keluarga yang bahagia tidaklah tergantung pada adanya anak, sebab anak bukanlah
penentu dari keluarga yang bahagia. Ini merupakan prinsip yang harus kita
pegang dan taati dengan sungguh-sungguh. Sewaktu kedua mempelai mengucapkan
janji pernikahan, janji itu bukanlah untuk mendapatkan anak, melainkan untuk
menghidupkan persekutuan yang mungkin diraih dalam saling melengkapi dan
menyempurnakan satu dengan yang lain. Dalam pernikahan, kita dapat mengalami,
membagi dan menikmati sukacita, cinta kasih dan persekutuan berdasarkan
pemberian Tuhan kepada kita masing-masing.
Karena itu
tujuan pernikahan bukanlah hanya untuk mendapatkan anak, tetapi melalui
pernikahan, sepasang suami-istri mungkin dikaruniai anak oleh Tuhan. Pernikahan
merupakan satu-satunya jalur yang sah untuk mendapatkan anak. Dengan demikian
hidup bahagia tidak diletakkan atas dasar ada atau tidaknya anak.
Alkitab selalu
memperlihatkan bahwa mempunyai anak adalah hal yang baik. Alkitab
“mengharapkan” suami dan isteri memiliki anak. Ketidakmampuan untuk memperoleh
anak selalu diperlihatkan dalam Alkitab sebagai hal yang buruk. Tidak ada
seorangpun dalam Alkitab yang menyatakan keinginan untuk tidak memiliki anak.
Untuk
mengetahui tujuan pernikahan yang benar, kita harus melihat dari perspektif
Allah yang berinisiatif merancang dan membentuk institusi pernikahan. Hal ini
bisa kita ketahui dari dua pasal pertama dalam Alkitab. Apakah tujuan Allah
menciptakan laki-laki dan perempuan?
Tujuan utama
adalah merefleksikan kejamakan dan ketunggalan dalam diri Allah. Kejadian 1:26
menyatakan, “Baiklah Kita (jamak) menjadikan (tunggal) manusia...”. Bagaimana
kita menjelaskan bentuk jamak dan tunggal dalam ayat ini? Untuk memahami hal
ini kita harus memperhatikan konteks ayat 26-27 secara lebih seksama.
Perhatikan dua ayat berikut ini:
Kej 1:27 Maka
Allah menciptakan manusia (tunggal)
itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia (tunggal); laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka (jamak).
Kej 5:1b-2a
Pada waktu manusia (tunggal) itu
diciptakan oleh Allah, dibuat-Nyalah dia
(tunggal) menurut rupa Allah; laki-laki
dan perempuan diciptakan-Nya mereka
(jamak).
Dari dua ayat
di atas terlihat bahwa manusia – yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah
– diciptakan sebagai kesatuan dalam kejamakan. Tidak heran di Kejadian 2:18
Allah melihat kesendirian manusia sebagai sesuatu yang tidak baik. Selanjutnya,
setelah Allah menciptakan kejamakan manusia (laki-laki dan perempuan), Ia
menghendaki supaya mereka berada dalam kesatuan yang utuh (Kej 2:23-24 “mereka
akan menjadi satu tubuh”). Apa yang tergambar dalam penciptaan manusia sebagai
gambar dan rupa Allah turut merefleksikan keberadaan Allah yang ‘jamak tapi
tunggal’.
Tujuan
selanjutnya dari pernikahan adalah melayani Allah. Ketika Allah menciptakan
Adam dan Hawa, Ia memberikan tugas khusus yang harus dikerjakan mereka berdua,
yaitu supaya mereka berkuasa atas ciptaan lain (Kej 1:26). Tugas ini diulangi
lagi di Kejadian 1:28, tetapi kali ini lebih eksplisit. Allah memberikan berkat
dan perintah di ayat 28, yaitu memiliki keturunan → memenuhi bumi → menaklukkan
bumi. Dari sini kita bisa melihat bahwa perintah untuk berkembang biak dan
memenuhi bumi hanyalah sarana untuk melakukan tujuan akhir yang ditetapkan
Allah, yaitu menguasai bumi. Di sinilah manusia memainkan peranan penting
sebagai gambar Allah yang mewakili Allah menguasai bumi. Penjelasan di atas
juga sesuai dengan Kejadian 2:18. Dalam ayat ini Allah menilai kesendirian Adam
sebagai sesuatu yang tidak baik. Adam membutuhkan seorang penolong. Pertanyaannya,
penolong dalam hal apa? Mengapa Adam perlu ditolong? Berdasarkan konteks yang
ada, pertolongan ini diperlukan Adam untuk menjalankan perintah Allah di Kejadian
1:28 atau Kejadian 2:15-17. Manapun yang benar di antara dua kemungkinan ini,
kita tetap bisa melihat bahwa Hawa diciptakan bagi Adam sebagai mitra untuk
melayani Allah atau melaksanakan perintah-Nya.
Dua tujuan
pernikahan yang sudah dijelaskan di atas dapat dirangkum dalam satu kalimat “kita
menikah untuk memuliakan Allah”.
Allah yang merancang dan membangun pernikahan; Dia juga yang berhak menentukan
tujuan pernikahan hanya bagi diri-Nya. Kita menikah semata-mata bukan untuk
kebahagiaan kita, keluarga kita, pasangan kita maupun anak-anak kita. Kita
menikah untuk memuliakan Allah.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa keluarga yang tidak
memiliki anak tidak bisa dikatakan sebagai keluarga yang gagal. Karena tujuan
dari pernikahan bukanlah semata-mata hanya untuk mendapatkan anak, melainkan
untuk kemuliaan nama Tuhan. Bagaimana Allah dimuliakan dalam keluarga tersebut
lewat kehidupan suami dan isteri yang senantiasa mensyukuri akan berkat-berkat
Tuhan sekalipun mereka tidak memiliki anak biologis. Sebuah keluarga bisa
mengadopsi anak yatim piatu atau juga anak dari saudara keluarga tersebut. Dan
ini merupakan cara Tuhan agar bisa berbagi kasih sayang dengan sesama yang
membutuhkan, dalam hal ini anak yatim yang membutuhkan kasih sayang dari orang
tua.
Tidak
memiliki anak bukan berarti keluarga itu kehilangan fungsinya. Karena anak
bukanlah tujuan satu-satunya pernikahan. Belum dikaruniai anak atau tidak
dikaruniai anak biologis, menyadarkan manusia bahwa kehidupan ini ada yang
mengatur. Manusia tidak bisa hidup sesuai dengan kehendaknya sendiri. Akan ada
keinginan-keinginan manusia yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Namun
bukan berarti dalam hal keinginan untuk memiliki anak tidak sesuai dengan
kehendak Allah. Allh punya cara-Nya sendiri dalam melaksanakan kehendak-Nya. Ia
memiliki rancangan-Nya sendiri bagi kehidupan setiap keluarga.
B.
Saran
Contohnya
dalam Alkitab misalnya Abraham yang dijanjikan keturunan oleh Allah sendiri
namun butuh waktu yang lama untuk mendapatkannya, setelah mendapatkan anak,
masih juga Allah menguji Abraham untuk mempersembahkan anaknya sebagai korban
bagi Allah. Keluarga Hana, Elizabeth dan Zakharia dan masih banyak lagi
contoh-contoh dalam Alkitab yang bisa menjadi teladan dan keluarga-keluarga
yang tidak memiliki anak namun tidak kehilangan pengaharapan mereka kepada
Tuhan.
Bagi
kita yang dalam perencanaan menuju pada pernikahan, kiranya benar-benar
memahami apa arti dan tujuan dari pernikahan Kristen. Sehingga berbagai
kemungkinan yang dapat kita bayangkan kedepan, bukan lagi suatu alasan untuk
kita tidak bersyukur kepada Tuhan. Ataupun saling menyalahkan pasangan kita
karena masalah seperti ini.
Terus
berpengharapan didalam Tuhan, karena Tuhan tidak akan mengecewakan kita ketika
kita benar-benar menyakini akan rancangan-Nya yang mendatangkan damai
sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab
Terjemahan Baru. 2000. Jakarta: Lembaga Alkitab
Indonesia.
Kristianto, Paulus. Prinsip dan Praktik Pendidikan Agama Kristen. 2006. Yogyakarta:
ANDI.
Soelaeman, M.I. Pendidikan
Dalam Keluarga. 1994. Bandung: CV ALFABETA.
Gunarsa, Singgih. Psikologi Untuk Keluarga. 2009. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Gunarsa, Singgih. Asas-asas Psikologi. 2009. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Ahmadi, Abu. Sosiologi
Pendidikan. 2007. Jakarta: Rineka Cipta.
Ismail, Andar. Ajarlah
Mereka Melakukan. 2003. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Lahaye, Tim. Kebahagiaan
Pernikahan Kristen. 2002. Jakarta: Gunung Mulia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar