BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang
Kenyataan di lapangan mutu pendidik dan tenaga kependidikan
masih memprihatinkan. Masyarakat banyak mengkritisi sebagian dari pendidik dan
tenaga kependidikan, khususnya guru kurang mampu melaksanakan pembelajaran
secara efektif, bermakna dan menyenangkan.
Kondisi objektif di lapangan menunjukkan
sebagian guru kurang memahami dan menguasai kurikulum, pelaksanaan evaluasi
hasil belajar, pengembangan bahan ajar, serta keterampilan dalam menggunakan
metode dan media pembelajaran. Secara nasional, sebagian besar guru
SD,SMP,SMA,SMK dan SLB masih kurang sesuai dengan kualifikasi minimal yang
ditetapkan.
Program
pendidikan dan
pelatihan (Diklat) dalam jabatan (in-service training) untuk meningkatkan
kualifikasi guru, program penyetaraan D2 untuk guru SD/MI dan D3 untuk guru
SMT/MTs, serta diklat lainnya yang berskala luas masih memerlukan evaluasi
untuk mengetahui sejauh mana relevansi dan pengaruhnya terhadap peningkatan
mutu pendidikan di Indonesia tercinta ini. Sejauh mana tujuan pendidikan
nasional tercapai pun menjadi sesuatu yang patut dipertanyakan.
B.
Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk
mengetahui:
1. Pendidikan di Indonesia
2. Permasalahan kependidikan
3. Tugas seorang guru
C.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pendidikan di Indonesia
2.
Apa
penyebab runtuhnya pendidikan di Indonesia
3.
Apa
yang menjadi tugas seorang guru yang profesional
D.
Batasan Masalah
Makalah ini hanya terbatas pada
dunia pendidikan di Indonesia sekalipun terdapat sedikit perbandingan dengan
Negara lain berdasarkan hasil penelitian.
BAB II
KETERPURUKAN MUTU PENDIDIKAN DI
INDONESIA
DAN PROFESIONALISME GURU
A.
Pengertian Pendidikan dan Peran Guru
Definisi pendidikan dalam UU No.
20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, yakni: “Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
14 Tahun 2005: “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”
B.
Pendidikan di Indonesia
Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN) Nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa: tujuan pendidikan
nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Sekolah sebagai organisasi sosial
diharapkan mampu memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat mengenai pendidikan
berkualitas yang mampu menyiapkan sumber daya yang dapat bersaing dalam
percaturan dunia yang semakin kompleks. Namun berdasarkan berbagai penelitian
yang telah dilakukan oleh berbagai pihak menunjukkan bahwa produktivitas
pendidikan di Indonesia sampai beberapa tahun terakhir belum menunjukkan
peningkatan yang berarti. Tingginya tingkat pengangguran, menurunnya kualitas
moral bangsa serta ketertinggalan Indonesia dalam percaturan internasional
menunjukkan masih rendahnya produktivitas pendidikan di negara kita.
Produktivitas pendidikan di negara kita ditinjau dari aspek administrasi,
perubahan perilaku siswa maupun dari aspek
ekonomi masih jauh tertinggal dari negara-negara tetangga seperti
Malaysia dan Singapura.
Hasil penelitian United Nation
Development Programe (UNDP) pada tahun 2007 tentang indeks pengembangan manusia
menyatakan Indonesia berada pada peringkat ke 107 dari 177 negara yang
diteliti. Indonesia memperoleh indeks 0,728. Dan jika Indonesia dibanding
dengan negara-negara ASEAN yang dilibatkan dalam penelitian, Indonesia berada
pada peringkat ke-7 dari sembilan negara ASEAN. Salah satu unsur utama dalam
komposit IPM adalah tingkat pengetahuan bangsa atau pendidikan bangsa.
Peringkat Indonesia yang rendah dalam kualitas SDM ini adalah merupakan
gambaran mutu pendidikan yang rendah.
Keterpurukan mutu pendidikan di
Indonesia juga dinyatakan oleh United Nation Educational, Scientific, and
Cultural Organization (UNESCO), Badan PBB yang mengurus bidang pendidikan.
Menurut Badan PBB itu, peringkat Indonesia dalam bidang pendidikan pada tahun
2007 adalah 62 diantara 130 negara di dunia. Education Development Index (EDI)
Indonesia adalah 0,935, dibawah Malaysia (0,945). Rendahnya mutu pendidikan
Indonesia juga tercermin dari daya saing di tingkat internasional. Daya saing
menurut Word Economic Forum, 2007-2008, berada di level 54 dari 131 negara.
Malaysia ke-21, Singapura ke-7. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya mutu
guru. Rendahnya profesionalitas guru dilihat dari kelayakan guru mengajar baik
di negeri maupun swasta. Menurut Balitbang Diknas guru- guru yang layak
mengajar untuk tingkat SD 28,94 %, SMP Negeri 54,12 %, SMP Swasta 60,99%, SMA
Negeri 65,29 %, SMA Swasta 64,73 %, guru SMA Negeri 55,91 %, Swasta 58,26 %.
Pendidikan adalah modal utama bagi
suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang
dimilikinya. Sumberdaya manusia yang berkualitas akan mampu mengelola sumber
daya alam dan memberi layanan secara efektif dan efisien untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, hampir semua bangsa berusaha meningkatkan
kualitas pendidikan yang dimilikinya, termasuk Indonesia. (Dinas Pendidikan
Nasional 2008).
Kesadaran pemerintah terhadap
pentingnya pendidikan berkualitas dewasa ini semakin nyata, hal ini terbukti
dengan meningkatnya perhatian pemerintah terhadap guru dan dosen berupa
digulirkannya undang-undang guru dan dosen no.14 tahun 2005 diwujudkan melalui
penentuan standar kelulusan bagi peserta didik pada Sekolah Dasar (SD) sampai
Sekolah Menengah Atas yang telah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir. Hal
ini pun mengundang kontroversi yang semakin berkepanjangan serta menimbulkan
permasalahan baru dalam dunia pendidikan.
Ketidaksiapan sekolah dalam
menerapkan ketetapan pemerintah tersebut menyebabkan timbulnya berbagai
kecurangan dan pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional, sehingga kejujuran
sistem pendidikan di negara kita ini masih dipertanyakan. Kepala sekolah
sebagai pemimpin pendidikan memiliki peran yang sangat besar untuk membawa guru
dan tenaga kependidikan lainnya untuk secara bersama-sama melakukan perbaikan
dalam segala hal. Tuntutan pemerintah terhadap pendidikan berkualitas harus
ditanggapi kepala sekolah dengan memberikan motivasi terhadap guru untuk terus
mengembangkan diri serta berbagai potensi yang mereka miliki, serta memfasilitasi
mereka agar terus belajar dan berkarya dengan penuh semangat dan kejujuran.
Pelaksanaan program sertifikasi
belum dapat dinilai keberhasilannya, namun selama program tersebut berlangsung,
program tersebut belum memberikan kontribusi positif bagi perwujudan sekolah
produktif, tetapi lebih mengarah kepada peningkatan kesejahteraan guru. Tidak
sedikit guru yang telah lulus sertifikasi namun kinerjanya tidak meningkat,
artinya program sertifikasi guru dan dosen tidak menjamin bahwa produktivitas
pendidikan kita akan meningkat.
Kesadaran guru terhadap peningkatan
kompetensi profesional serta kualitas kinerjanya harus dilandasi komitmen yang
kuat terhadap sekolah sebagai organisasi tempat mereka bekerja dan mengamalkan
ilmunya. Komitmen guru sangat diperlukan demi keberlangsungan sekolah sebagai
organisasi pendidikan. Salah satu upaya mewujudkan komitmen yang kuat terhadap
organisasi adalah bagaimana kepala sekolah sebagai pemimpin mengkondisikan guru
dan tenaga kependidikan lainnya untuk bekerja dan melaksanakan tugasnya sesuai
harapan kepala sekolah sebagai pemimpin dalam organisasi pendidikan. Rendahnya
komitmen guru memberikan kerugian tidak hanya kepada guru sebagai individu
tetapi juga kepada siswa sebagai pengguna jasa pendidikan.
C.
Penyebab Runtuhnya Pendidikan di
Indonesia
Ada beberapa hal yang menjadi
penyebab runtuhnya pendidikan di Indonesia:
- Negara memang belum menjalankan amanat Undang-Undang Dasar negara kita secara konsekuen dan bertanggung jawab. Kecilnya anggaran pendidikan, belum lagi dikorupsi sana-sini, berpengaruh besar pada mahalnya biaya Pendidikan Dasar - Menengah yang harus ditanggung oleh rakyat. Di banyak negara untuk sekolah negeri dari SD-SMU gratis. Dampaknya juga pada nasib guru, baik kesejahteraan secara materiil (gaji, honor, dll.), maupun pembinaan lanjut untuk meningkatkan kualitas kinerja guru (penataran, pelatihan, dll). Adalah tidak masuk akal mengharapkan kualitas pengajaran yang bagus dari guru yang miskin harta dan miskin pengetahuan atau ketrampilan. Sebaliknya jangan salahkan guru yang terpaksa “ngojek” untuk mencari tambahan biaya hidup.
- Ketika menjadi guru bukan lagi pilihan hidup. Harus diakui, bahwa faktor psikologis dan kecintaan seorang guru terhadap bidang pekerjaannya sebagai guru akan memberi pengaruh besar pada kualitas proses belajar mengajar dan pembinaan siswa di sekolah. Kecintaan pada pekerjaan sebagai guru ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang memang memilih jadi guru. Bagaimana seseroang bisa memiliki kecintaan ini kalau dia menjadi guru karena terpaksa?
- Lisensi keguruan. Guru atau dosen adalah sebuah profesi akademis, bukan bakat alami. Artinya tidak semua orang bisa menjadi guru atau dosen. Sebagai contoh: seorang ahli mesin tidak serta merta bisa jadi dosen tehnik mesin kalau dia tidak memiliki ilmu mengajar. Demikian juga seorang sarjana ekonomi tidak serta merta bisa menjadi guru ekonomi. Memang dia ahli dalam mesin dan ekonomi, tetapi dia tidak memiliki keahlian dalam ilmu mengajar. Ketimpangan ini akan berpengaruh pada kualitas pengajaran yang ia berikan dan tentunya juga berpengaruh pada siswa. Itu sebabnya, mestinya untuk menjadi guru atau dosen seseorang harus memiliki lisensi sebagai guru/dosen. Lisensi ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah menempuh pendidikan keguruan. Dia adalah seorang pädagogie (pengajar/pendidik), minimal dia harus menguasai ilmu didaktik, metode mengajar dan psikologi.
- Ketika tenaga guru tidak sebanding dengan jumlah murid/kelas. Ayah saya sebelum menjadi kepala sekolah di sebuah SD Inpres di Minahasa Utara, menjadi tenaga pengajar (guru) di sekolah tersebut, beberapa tahun yang lalu. Di sekolah yang memiliki 6 kelas (kelas I-VI) hanya ada 2 orang guru (1 kepala sekolah yang merangkap guru kelas I-III dan 1 guru kelas IV-VI [ayah saya]). Jadi masing-masing guru mengajar 3 kelas sekaligus. Dalam situasi seperti ini juga adalah tidak realistis menuntut kualitas pendidikan.
Malapetaka
penyebab hancurnya pendidikan di Indonesia juga dirancang oleh pemerintah
sendiri, ketika hanya bidang studi tertentu saja seperti Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris, Matematika yang diuji dalam UAN. Kebijakan ini merupakan
kesalahan fatal yang dilakukan pemerintah. Metode atau sistem ujian ini tidak
hanya tidak mengukur kemampuan belajar siswa secara menyeluruh, tetapi juga
akan menyebabkan bencana lainnya seperti: rendahnya tingkat keseriusan siswa
mengikuti pelajaran lain yang tidak termasuk dalam mata pelajaran yang diuji
dalam UAN. Secara psikologis juga guru-guru mata pelajaran yang tidak termasuk
dalam UAN bisa merasa rendah diri, jengkel, frustasi, dll., dan itu akan
menurunkan semangat mengajar, sehingga mengajar hanya asal-asalan (karena tidak
punya beban atau karena kecewa?), juga mungkin siswa tidak respek pada
guru-guru tsb. Lalu secara ekonomis, dengan maraknya sistem les privat, membuat
guru-guru mata pelajaran UAN menjadi primadona. Guru-guru tersebut mendapat
banyak murid les dan ini berarti penambahan pendapatan yang lumayan. Itu bagus
bagi guru tersebut. Tetapi tidak baik bagi guru-guru lain. Bisa menimbulkan iri
hati, dll., dan akhirnya menggangu keharmonisan antar guru di sekolah.
D.
Profesional
Guru profesional
adalah guru yang mengenal tentang dirinya. Yaitu bahwa dirinya adalah
pribadi yang dipanggil untuk mendampingi peserta didik untuk/dalam belajar. Guru
dituntut untuk mencari tahu terus-menerus bagaimana seharusnya peserta
didik itu belajar. Maka apabila ada kegagalan peserta didik, guru terpanggil
untuk menemukan penyebab kegagalan dan mencari jalan keluar bersama dengan
peserta didik; bukan mendiamkannya atau malahan menyalahkannya.
Proses
mendampingi peserta didik adalah proses belajar. Karena sekolah merupakan medan
belajar, baik guru maupun peserta didik terpanggil untuk belajar. Guru
terpanggil untuk bersedia belajar bagaimana mendampingi atau mengajar dengan
baik dan menyenangkan; peserta didik terpanggil untuk menemukan cara belajar
yang tepat.
Medan belajar adalah
medan yang menyenangkan, bukan menyiksa apalagi mengancam. Oleh karena itu,
yang harus terlibat dalam medan belajar adalah hati atau lebih daripada budi.
Jadi perkara belajar adalah perkara hati dan budi; memberikan penekanan pada
peran budi semata- mata seperti yang lazim terjadi pada saat ini akan merintangi
kemajuan pendidikan.
Menjadi
guru bukan sebuah proses yang yang hanya dapat dilalui, diselesaikan, dan
ditentukan melalui uji kompetensi dan sertifikasi. Karena menjadi guru
menyangkut perkara hati, mengajar adalah profesi hati. Hati harus banyak
berperan atau lebih daripada budi. Oleh karena itu, pengolahan hati harus
mendapatkan perhatian yang cukup, yaitu pemurnian hati atau motivasi untuk
menjadi guru.
Memang
harus disadari bahwa kondisi guru seperti yang tercermin pada temuan di atas
harus menjadi keprihatinan bersama. Kondisi itulah yang harus dihadapi, bukan
menjadi ajang untuk menyangkal atau malahan untuk menyalahkan pihak-pihak
tertentu (yang tidak ada manfaatnya sama sekali). Dari itu semua yang paling
berkepentingan adalah pribadi guru sendiri. Namun, itu sekaligus pula jangan
sampai untuk mematahkan semangat rekan guru yang masih ingin menghidupi keguruannya.
Sikap
yang harus senantiasa dipupuk adalah kesediaan untuk mengenal diri dan kehendak
untuk memurnikan keguruannya. Mau belajar dengan meluangkan waktu untuk menjadi
guru. Seorang guru yang tidak bersedia belajar tak mungkin kerasan dan bangga
jadi guru. Kerasan dan kebanggaan atas keguruannya adalah langkah untuk menjadi
guru yang profesional.
Adapun
kode etik guru Indonesia yaitu:
- Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia indonesia seutuhnya berjiwa Pancasila;
- Guru memiliki dan melaksanakan kewjujuran professional;
- Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan’
- Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar mengajar’
- Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan tanggung jawab bersama terhadap pendidikan;
- Guru secara pribadi dan secara bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya;
- guru memelihara hubungan profesi semangat kekeluargaan dan kesetiakawanana nasional;
- Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organiosasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian;
- Guru melaksanaakn segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Keterpurukan mutu pendidikan di
Indonesia, tidaklah lepas dari kesadaran setiap guru akan profesi dan
keterpanggilannya sebagai seorang tenaga professional yang hendak menyalurkan
nilai-nilai kehidupan guna masa depan peserta didik yang lebih baik. Saya
sangat senang dengan ungkapan “peserta didik hari ini adalah pemimpin masa
depan.” Bagaimana kepemimpinan bangsa Indonesia ini akan lebih baik jika calon
pemimpinnya didik oleh tenaga pendidik yang tidak berkualitas?
Namun sebenarnya persoalan guru
tidak berasal dari internal guru saja, yang paling dominan justru faktor
eksternal (ekonomi dan politik). Apakah yakin martabat guru akan naik setelah
diproklamasikan sebagai profesi, bila proses perekrutan guru CPNS diwarnai
suap? Untuk itu mencegah penerimaan guru CPNS dengan menggunakan uang suap
sangatlah penting. Bila proses perekrutan guru CPNS sudah bersih dari KKN,
barulah guru bisa lebih profesional dan bermartabat, karena menjadi guru berkat
kemampuannya, bukan karena menyuap.
B.
Saran
Kesejahteraan guru dalam hal ekonomi
dan pengetahuan, terutama untuk guru di sekolah negeri (mestinya juga dalam
skala tertentu untuk sekolah swasta), memang adalah tanggung jawab negara,
bukan tanggung jawab orang tua murid. Orang tua murid bisa diminta partisipasi,
tetapi porsinya harus tetap kecil. Barulah akan tercipta guru yang profesional
karena ekonomi salah satu penyebab terpuruknya profesionalisme guru di
Indonesia.
SUMBER