teman-teman seperjuanganku di STAKN Manado ^_^ |
SEJARAH
KATEKESE GEREJAWI
A.
Pada
waktu Perjanjian Baru
Pada
permulaan periode ini katekese gerejawi masih sangat sederhana. Ia belum
mengandung semua unsur tradisional dengan lengkap, seperti yang kita kenal pada
waktu ini. Unsur credo (= pengakuan
iman) umpamanya tidak lebih panjang daripada pengakuan, bahwa “Yesus adalah
Tuhan”.[1]
Baru
kemudian timbul unsur-unsur lain, seperti: “Ia telah datang di dalam daging” (1
Yoh 4:2; 2 Yoh 7), “Ia adalah Anak Allah” (1 Yoh 4:15), “Ia telah mati,
dikuburkan dan pada hari yang ketiga telah dibangkitkan kembali” (Rm 4:25 dyb;
1 Kor 15:3-4; 2 Tim 2:8), “Ia telah terangkat ke dalam kemuliaan” (1 Tim 3:16),
“Ia duduk di sebelah kanan Allah” (Ibr 12:12), “Ia akan mengahakimi orang-orang
yang hidup dan yang mati” (2 Tim 4:1). Dengan jalan demikian lama-kelamaan
timbullah rumusan-rumusan pengakuan yang agak panjang dan lengkap. Salah satu
di antaranya ialah 1 Timotius 3:16.
Di
samping pengakuan-iman bimbingan (=
pengajaran) etihis mengambil tempat yang penting dalam katekese
Jemaat-Jemaat Purba. Seluruh paraenese dalam Perjanjian Baru adalah bukti yang
jelas dari hal itu. Salah satu dari paraenese-paraenese itu ialah Ibrani 6:1-2.
Juga
doa merupakan salah satu unsur
penting dari katekese Jemaat-Jemaat Purba. Hal itu antara lain nyata dari
bentuk yang tetap dari doa Bapa Kami dalam Matius 6:9-15 dan Lukas 11:2-4.
Mula-mula katekese Jemaat-Jemaat Purba ini rupanya sangat sederhana.
Kadang-kadang hanya beberapa jam saja. Dalam Kisah Para Rasul kita
berulang-ulang membaca, bahwa baptisan segera dilayani, sesudah pemberitaan
Firman dari para rasul.
-
Salah satu contoh yang paling jelas dari
hal ini ialah Kis 2:41: “Mereka yang menerima perkataannya (= perkataan Petrus)
member diri mereka dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah menjadi
kira-kira tigaribu jiwa.”
-
Juga kepala penjara di Filipi segera
member dirinya dibaptis bersama-sama mereka dengan keluarganya (Kis 16:33).
-
Demikian pula kepada perbendaharaan Sri
Kandake (= ratu Etiopia): ia segera dibaptis, sesudah ia memintanya (Kis 8:36,
38).
B.
Dalam
abad-abad pertama
Kemudian,
kira-kira pada akhir abad pertama, bahan-bahan katekese Gereja Purba makin
bertambah banyak dan waktu persiapan juga makin bertambah lama. Hal itu antara
lain nyata dari salah satu katekismus yang dipakai oleh Jemaat-Jemaat Purba
pada waktu itu, yaitu “Didakhe” (=
ajaran keduabelas rasul). Katekismus ini berasal dari lingkungan
orang-orang Kristen-Yahudi dan ditulis sekitar tahun 100. Isinya terdiri dari:
kedua jalan (=hokum-hukum untuk hidup orang Kristen), petunjuk-petunjuk
liturgis untuk pelayanan Baptisan dan Perjamuan Malam (diselingi oleh puasa dan
doa Bapa Kami), peraturan-peraturan untuk hidup Jemaat dan pejabat-pejabatnya,
dan nasihat yang bersifat eskatologis (untuk berjaga-jaga).
Dalam
abad kedua katekese Gereja makin
berkembang dan memperolah bentuk-bentuk yang tertentu sebagai katekumenat.
Secara kasasr katekumenat Gereja Purba terdiri dari dua bagian atau tingkat.
Bagian atau tingkat pertama ialah: bagian atau tingkat katekumin-katekumin (=
pengikut-pengikut katekumenat). Bagian atau tingkat kedua ialah: bagian atau
tingkat calon-calon baptisan.
Jalan
yang panjang ini diatur dengan teliti sampai pada bagian-bagiannya yang kecil.
Sebelum seorang diterima menjadi katekumin, ia harus memenuhi dahulu syarat-syarat yang tertentu. Gereja
tidak mau menerima sembarangan orang saja. Ia tidak mau menyusahkan driri
dengan orang-orang yang hanya ingin-tahu saja atau dengan orang-orang yang
bimbang yang kemudian akan “jatuh kembali” ke agama kafir, dan yang karena itu
menrugikan Gereja. Ia menuntut, supaya mereka membuktikan, bahwa mereka
benar-benar adalah anggota Gereja. Karena itu siapa yang ingin mengikuti
katekumenat, harus pergi dahulu kepada
uskup atau kepada katekit (= pemimpin katekumenant) untuk mencatatkan nama.
Kepada mereka ditanyakan sebab-sebab
mereka mau menjadi anggota Gereja. Hidup
mereka diselidiki dan kalau mereka diterima, mereka harus berjanji untuk hidup suci, menurut “kebenaran Kristen”. Kalau
mereka sedang menjalankan suatu pekerjaan
atau jabatan yang tidak sesuai
dengan kesucian hidup Kristen, mereka diminta untuk menggantikan pekerjaan
atau jabatan itu dengan pekerjaan atau jabatan lain. Jika mereka tidak mau
berbuat demikian, mereka ditolak.
Sesudah
mereka diterima sebagai katekumin, mereka memperolah hak-hak baru. Sebelumnya
mereka hanya bolah mengahadiri bagian pendahuluan dari ibadah Jemaat dan
mendengarkan khotbah. Sesudah itu mereka harus meninggalkan ibadah. Tetapi
sesudah menjadi katekumin, mereka bolah tetap tinggal dan tturut berlutut dalam
pelayanan doa (= syafaat) dan penumpangan tangan. Ibadah yang sebenarnya tidak
boleh mereka hadiri. Ibadah itu hanya untuk “orang-orang yang percaya” (=
orang-orang yang telah dibaptis).
Waktu
katekumenat kemudian bertambah lama: antara dua dan tiga tahun. Hanya untuk
orang-orang Yahudi, berhubung dengan bahwa murtad, waktu itu telah dipersingkat
menjadi delapan bulan. Dalam hal ini bukan waktu yang menentukan, tetapi sikap
dan hidup orang-orang yang mengikuti katekumenat itu. Berhubung dengan itu maka
yang ditekankan dalam waktu persiapan ini ialah soal-soal ethis.
Pengajaran-baptisan
bukan hanya terdiri dari penjelasan tentang soal-soal iman saja. Ia lebih
daripada itu: ia juga mencakup doa, puasa, askese (= hidup bertarak, tidak
boleh mandi, tidak boleh menggantikan pakaian), jaga-malam, penyelidikan hati
nurani, pengakuan dosa, penolakan dan pengusiran setan (= exsorsisme). Ia
sebenarnya adalah suatu bimbingan dalam rahasia iman. Oleh rentetan akta dan
latihan yang calon-baptisan harus lakukan ia dipersiapkan secara lahir-bathin
untuk menerima baptisan sebagai suatu pengalaman religious. Hal itu nyata dari
dokumen-dokumen tua yang ditulis pada waktu itu. Suatu contoh: dalam
khotbah-baptisannya yang pertama Cyrillus dari Yerusalem mengemukakan
tuntutan-tuntutan yang berikut kepada calon-calon baptisan:
“Siapkanlah
hati kamu untuk menerima pengajaran dan mengambil bagian dalam
sakramen-sakramen (= misteri-misteri)
yang suci! Berdoalah selalu! Dan waspadalah, supaya kamu jangan
menyimpang dari jalan yang benar! Tanggalkanlah manusiamu yang lama dengan
jalan mengaku dosamu! Sebab sekaranglah waktunya utnuk mengaku dosa.”
Untuk
mematahkan kuasa iblis, dalam ibadah-ibadah Jemaat dilakukan pengusiran setan:
uskup meletakkan tangan di atas kepala calon-calon baptisan dan membuat
tanda-salib di dahi mereka. Pada ritus ini Cyrillus mengucapkan kata-kata yang
berikut:
“Terimalah
pengusiran setan dengan rajin! Semakin sering kamu dihembusi, semakin baik
untuk keselamatan kamu! Perhatikanlah emas yang belum diolah dan dibersihkan!
Emas itu bercampur dengan benda-benda lain: dengan batu, timah, besi, dan
lain-lain. Kalau kamu mau memperolah mas murni, kamu harus menyucikannya dengan
api dari benda-benda yang lain itu. Demikianlah hendaknya jiwamu disucikan oleh
pengusiran setan.”
Di
Yerusalem pengajaran yang sebenarnya mulai dengan pengakuan iman (=tradition
symboli): pemimpin mengucapkan kata-kata pengakuan-iman, yang sampai saat itu
belum boleh diketahui dan dipelajari oleh para katekumin, diikuti oleh suatu
penjelasan. Tigabelas dari khotbah-khotbah baptisan Cyrillus memuat
penjelasan-penjelasan yang demikian. Pada waktu yang telah ditentukan para
calon-baptisan harus dapat menghafal kata-kata dari pengkuan-iman, yang mereka
wajib ucapkan pada waktu mereka dibaptis. Untuk maksud itu disediakan
daftar-daftar tanya-jawab.
Selain
daripada pengakuan-iman, di beberapa tempat diberitahukan juga kata-kata dari
doa Bapa Kami. Pemberitahuan ini disusul oleh pelayanan baptisan. Tetapi dengan
itu pengajaran baptisan belum selesai. Sakramen-sakramen harus dijelaskan
dahulu. Di Gereja Timur hal itu berlaku sebelum pelayanan baptisan. Sebabnya
ialah karena Gereja kuatur kalau-kalau kesucian sakramen-sakramen itu akan
dinodai. Dan mungkin juga karena sebab-sebab lain: karena Gereja kuatir,
kalau-kalau oleh penjelasan yang terlampau pagi kodrat sakramen-sakramen akan
berkurang. Dalam sakramen-sakramen Tuhan Allah sendiri bekerja. Pekerjaan-Nya
itu harus langsung dialami oleh para calon-baptisan.
Pengajaran
katekumenat bukan hanya diberikan oleh uskup-uskup saja, tetapi juga oleh
presbiter-presbiter, diaken-diaken dan anggota-anggota Jemaat yang lain.
Pengajaran ni dianggap begitu penting, sehingga di Gereja Timur didirikan
sekolah –sekolah khusus untuk pelayanan ini. Yang paling tua dan paling
terkenal ialah sekolah katekit di Alexandria (= pusat sending Yahudi pada waktu
itu). Di tempat-tempat lain ada juga sekolah semacam itu: d Kaisarea, di
Antiokia, di Edessa dan di Nisibis. Gereja Barat tidak mengenal sekolah
katekit. Pendidikan katekit di sana berada dalam tangan para uskup dan
presbiter. Sering biara erupakan pusat-pendidikan yang demikian.
C.
Dalam
abad-abad pertengahan
Dalam
abad-abad ini katekese Gereja makin lama makin mendangkal. Pandangkalan ini
sebenarnya telah mulai pada akhir abad-abad pertama. Hal ini terutama
disebabkan oleh pembaptisan anak-anak, yang telah dipraktikkan di mana-mana
pada waktu itu. Oleh praktik ini pengajaran katekese tidak diberikan lagi
kepada anak-anak dari keluaraga-keluarga Kristen. Sebab menurut tradisi yang
diikuti pada waktu itu, katekese hanya diuntukkan bagi orang-orang yang
berpindah dari agama kafir ke agama Kristen sebagai persiapan untuk menjadi
anggota Gereja. Karena itu pengajaran katekese harus diberikan sebelum
baptisan. Sesudah itu tidak perlu lagi.
Hal
ini membawa akibat yang buruk bagi katekese. Persiapan yang dahulu diberikan
dengan teliti kepada para calon-baptis hampir-hampir tidak ada lagi. Memang
unsur-unsur yang penting dari katekese masih tetap ada, tetapi unsur-unsur itu
tidak banyak mempunyai arti lagi: sebagian daripadanya telah merosot menjadi
rumusan-rumusan yang hanya dihafalkan saja dan sebagian lagi hanya dipakai
sebagai alat-pembantu dalam liturgy dan ibadah Gereja.
Bukan
hanya unsur-unsur katekese di atas, juga ritus-ritus seperti penerimaan dalam
aktekumenant, pengangkatan sebagai “competetes”, exorsisme, penumpangan-tangan,
pengurapan dll., telah kehilangan artinya yang semula dan berobah menjadi akta-akta
yang murni liturgis.
Dalam
abad kedelapan dan kesembilan, ketika Berita Injil disampakan kepada
bangsa-bangsa German, katekese Gereja mengalami suatu pembaharuan. Pada waktu
itu dituntut lagi, bahwa orang-orang yang mau menerima baptisan, harus dipersiapkan
dahulu dengan baik.
Hal
itu nyata dengan jelas dalam surat-surat Alkuinus yang tidak henti-hentinya
memperingatkan, supaya orang-orang German jangan ditobatkan dengan kekerasan.
Dengan sangat ia meminta kepada kaisar, supaya kaisar mengurts penginjil-penginjil
kepada bangsa-bangsa yang telah ditaklukkan, dengan tugas untuk perlahan-lahan
mengajar dan mendidik mereka “sma seperti anak kecil yang masih membutuhkan
susu”. Dengan tegas ia katakan, bahwa baptisan baru boleh dilayani, kalau
orang-orang yang akan dibaptis itu telah mendapat pengajran katekese: “Jangan
sekali-kali terjadi, bahwa sakramen baptisan hanya diterima oleh tubuh, padahal
jiwa tidak memahami kebenaran yang terkandung di dalamnya. Tuhan Yesus tidak
katakan: “Pergilah dan baptislah segala bangsa, sesudah itu ajarlah mereka . .
.”. Tetapi: “Ajarlah mereka . . .” dan sesudah itu barulah: “Baptislah mereka .
. .!” Peringatan-peringatan Alkuinus ini dalam praktik dilaksanakan.
Orang-orang yang mau dibaptis, harus mengikuti pengajaran katekese dahulu:
tujuh sampai empatpuluh hari.
Pengaruh
Karel Agung telah menolong menghidupkan kembali katekese Gereja, terutama di
daerah-daerah sending. Tetapi hal itu tidak lama berlangsung. Sesudah Ereopa
selesai di”Kristen”kan, pengajran katekese merosot lagi seperti dahulu dan
hanya terdiri dari: penghafalan pengakuan-iman dan doa (= Bapa Kami, dan
kemudian Ave Maria), pengenalan akan sakramen-sakramen dan upacara-upacaranya,
dan pegetahuan akan daftar-daftar dosa berhubung dengan pengakuan-dosa pribadi
yang makin lama makin besar memainkan pereanan dalam Gereja.
Sejalan
dengan itu kemerosotan katekese Gereja juga makin lama makin bertambah besar,
sehingga akhirnya dalam abad ke-15 ia samasekali tidak berarti lagi. Kursi
pengakuan dosa pribadi mengambil-alih fungsinya. Ia merupakan semacam
“kursi-pengadilan” rohani, yang dengan keputusan-keputusan dan hokum-hukumnya
mencakup seluruh hidup anggota jemaat. Dari buku-buku pengakuan dosa pribadi,
yang khusus ditulis sebagai pedoman bagi para rohaniawan untuk tugas mereka
nyata kepada kita, bagaimana situasi katekese dalam abad-abad pertengahan.
Yang
menyolok ialah, bahwa sampai pada waktu itu Alkitab tidak mendapat tempat
sebagai bahan khusus dalam katekese. Ia memang kadang-kadang dikutip, tetapi
hanya untuk menjelaskan bahan-bahan yang harus dipelajari.
D.
Pada
waktu reformasi
Hal
itu berobah pada waktu rreformasi. Salah satu jasa yang paling besar dari
reformasi ialah bahwa ia menempatkan kembali Alkitab sebagai pusat dalam
theologia dan dalam praktik Gereja. Penempatan ini menimbulkan perobahan besar
di bidang katekese. Bukan dalam arti, bahwa bahan-bahan tradisional dibuang
atau diganti dengan bahan-bahan lain. Bahan-bahan itu terus dipakai, tetapi
sekarang sebagai rangkuman dari ajaran Alkitab.
Perobahan
atau pembaharuan yang dibawa oleh reformasi berlangsung di tiga bidang. Bidang
yang pertama: isi katekese. Kalau katekismus-katekismus, yang ditulis pada
waktu itu, dibandingkan dengan buku-buku katekese dari abad-abad pertengahan
nyata dengan jelas, bahwa isi katekismus-katekismus itu jauh lebih baik. Hal
itu terutama disebabkan oleh tempat sentral, yang diberikan oleh reformasi
kepada Alkitab dalam katekese. Itu tidak berarti, bahwa dalam katekese Alkitab
telah mendapat tempat yang khusus.
Kemudian
keadaan ini makin lama makin berobah. Untuk dapat memahami bahan-bahan yang
harus dipelajari dengan baik, pengikut-pengikut katekese disuruh menghafal
sejumlah nas dan mempelajari beberapa ceritera Alkitab. Hal itu terjadi di
banyak Gereja. Tetapi baru dalam abad ke-17 ceritera-ceritera Alkitab mendapat
tempat yang khusus dalam katekese.
Bidang
yang kedua: ruang-cakup katekese. Ruang-cakup katekese pada waktu reformasi
jauh lebih luas daripada ruang-cakup katekese dalam abad-abad pertengahan.
Dalam abad-abad pertengahan katekese hanya dibatasi pada orang-orang yang
berpindah dari agama kafir ke agama Kristen. Pada waktu reformasi katekese
mencakupi semua orang. Sebab sebagai “imam” tiap-tiap orang percaya selengkap
dan sebai mungin mengetahui kebenaran yang ia percayai. Theologia harus menjadi
milik dari semua anggota Jemaat. Untuk katekese pendirian ini membawa tugas
yang berat. Sebab hal itu berarti, bahwa katekismus-katekismus (yang dimaksud
di sini ialah buku pangajaran gerejawi) yang dipakai harus cocok bagi semua
orang.
Menurut
para reformator katekese adalah pertama-tama tugas keluarga. Orang-tua
berkewajiban mendidik anak-anak mereka menurut Firman dan hukum-hukum Allah,
dan memimpin mereka kepada Kristus. Di samping keluarga katekese ditugaskan
juga kepada sekolah. Hal ini harus demikian, karena erat sekali hubungan antara
Gereja dan sekolah pada waktu itu.
Berdasarkan
situasi ini Luther berpendapat, bahwa tempat katekee ialah keluarga dan
sekolah. Gereja, sekalipun mempunyai hubungan dengan kedua tempat ini,
mempunyai tugas lain, yaitu memberikan penjelasan lebih luas oleh
“khotbah-katekismusnya” tentang apa yang dipelajari dalam katekese. Cara ini
umumnya masih tetap dipakai oleh Gereja-Gereja Lutheran di Eropa dan di
negeri-negeri lain.
Karena
itu istilah “pengajaran agama”, yang berasal dari dunia sekolah, lama kelamaan
diterima sebagai istilah resmi menggantikan istilah “katekese”. Sebaliknya kata
“katekismus” beberapa waktu lamanya dipakai di berbagai-bagai bidang di luar
Gereja dengan arti “buku pengajaran” atau “buku edoman”. Umpamanya di Jerman.
Dalam abad ke-18 terdapat di sana rupa-rupa katekismus untuk prajurit, untuk
musik, dll.
Zwingli
mempunyai pendapat yang agak lain. Menurut dia katekese sebenarnya dalah tugas
pokok dari Gereja. Karena itu ia berusaha memperoleh ruang, di mana Gereja
dapat menunaikan tugas ini, antara lain dengan mengumpulkan anak-anak untuk
mempelajai pengakuan-iman dan doa, menjelang hariraya Natal dan hariraya
Paskah. Calvin juga mempunyai pendapat yang sama. Sekalipun ia manegkui arti
yang besar dari keluarga dan sekolah bagi katekese, ia bersungguh-sungguh
mengusahakan suatu pengajaran gerejawi tersendiri, khususnya mengingat
peneguhan-sidi (= konfirmasi) oleh Gereja. Untuk itu ia menganjurkan katekese
umum (= terbuka) sesudah kebaktian, di mana anak-anak harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Di samping kebiasaan ini
Gereja-Gereja juga memberikan pengajran katekese pada hari-hari kereja, seperti
yang kita kenal ada waktu ini.
Untuk
menyebar-luaskan ajaran Kristen kapada seluruh anggota jemaat, para reformator
telah menulis ketekismus-katekismus. Luther yang pertama-tama mulai. Dari tahun
1518-1520 ia menyusun suatu buku-kecil, yang memuat penjelasan-penjelasan
pendek tentang dasafriman, pengakuan-iman (= Apostolicum) dan doa. Buku-kecil
ini, yang beberapa kali dicetak ulang, merupakan dasar dari “Katekismus Besar”
dan “Katekismus Kecil”, yang diterbitkan pada tahun 1529.
Dalam
tahun 1536 Calvin menerbitkan ikhtisar dari Institutionya sebagai katekismus
dalam bahasa Perancis, dalam tahun 1538 juga dalam bahasa Latin. Kemudian
menyusul suatu buku-kecil yang lebih sederhana juga mula-mula dalam bahasa
Perancis (1541) dan kemudian dalam bahasa Latin (1545). Buku-kecil ini terdiri
dari limapuluh lima minggu dan seluruhnya dalam bentuk Tanya-jawab. Dalam suatu
suratnya kepada Eduard Seymour (22 Oktober 1548), seorang bangsawan dari
Somorset, Calvin menulis: “Percaya, bahwa Gereja Tuhan tidak dapat hidup tanpa
katekismus”. Karena itu “berusahalah, supaya anak-anak diajar berdasarkan suatu
katekismus yang baik, yang dengan singkat mengajar mereka apa artinya agama
Kristen yang benar.”
Dalam
Gereja-gereja Calvin katekismus Calvin makin lama makin terdesak oleh
Katekismus Heidelberg, yang disusun oleh Caspar Olevianus dan Zacharias
Ursinus, atas perintah raja Frederik III dari Pfalz, pada tahun 1542. Frederik
III menghendaki suatu buku pengajaran, yang mempersatukan ajaran para
reformator Swis dan Jerman. Berdasarkan usul Ursinus buku pengajan itu dibagi
atas tiga bagian: dosa, penebusan dan pengucapan syukur. Mula-mula pembagian
dalam minggu-minggu tidak ada. Tetapi kemudian pembagian itu diadakan. Suatu
hal lain yang penting kita tahu ialah, bahwa dalam edisi kedua ajaran Gereja
katholik Roma dengan tegas ditolak. Pada waktu itu ditambahkan jawab 80, yang
menyebut misa Katholik Roma suatu “penyembahan berhala” yang menjijikkan.
Bidang
yang ketiga: cara mempelajari bahan katekese. Juga di bidang ini reformasi
berbeda dengan abad-abad pertengahan. Dalam abad-abad pertengahan katekese
umumnya terdiri dari menghafal bahan-bahan katekese, tanpa mengatahui artinya.
Pada waktu reformasi hal ini berobah. Para reformator tdak setuju dengan hanya
menghafal pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban dalam katekismus. Luther
menuntut, bahwa pengikut-pengikut katekese harus mengerti apa yang mereka
pelajari. Calvin dan Zwingli berpendapat juga demikian.
Pengetahuan
dengan otak dan pengetahuan dengan hati harus berjalan bersama-sama. Pada satu
pihak otak harus secara aktif diikut sertakan dalam katekese. Tetapi pada lain
pihan harus dijaga, supaya perasaan dan hati juga mendapat bagiannya di situ.
Dalam dwi-tunggal ini keputusan-percaya anak-anak harus dipersiapkan. Injil
harus dapat dimengerti dengan otak dan dapat dipahami dengan hati. Berhubung
dengan tu penjelasan katekismus harus sesuai dengan daya tangkap anak-anak.
Banyak Sinode menghendaki, supaya katekismus dijelaskan dalam kebaktian sore
pada hari minggu. Sinode Dordrecht (1618-1619) umpamanya memutuskan hal-hal
yang berikut tentang katekese:
-
Harus ada khotbah katekismus tiap-tiap
Minggu: khotbah-khotbah itu harus pendek dan dapat dimengerti oleh anak-anak.
-
Dua kali seminggu guru-guru sekolah
harus memberikan pengajaran katekese. Untuk anak-anak: naskah pengakuan iman, doa
Bapa Kami dan sedikit tentang sakramen-sakramen. Selanjutnya
pertanyaan-pertanyaan yang seerhana tentang ketiga bagian dari Katekismus
Heidelberg. Untuk anak-anak yang telah maju: suatu rangkuman dari Katekismus
Heidelberg. Untuk anak-anak besar: Katekismus Heidelberg seluruhnya.
-
Katekese oleh pendeta-pendeta,
penatua-penatua atau penghibur-penghibur orang sakit, baik untuk orang-orang
muda, maupun untuk orang-orang dewasa.
-
Harus ada katekese keluarga. Di situ
orang tua membiasakan anak-anaknya untuk berdoa bersama, membaca Alkitab
bersama, menjelaskan kepada mereka apa yang dibacakan itu, dan membimbing
mereka dalam mempelajari katekismus. Orang uta yang lalai dalam hal ini harus
dinasihati atau dikenakan disiplin.
E.
Pada
waktu sending Belanda
Kebiasaan-kebiasaan
yang dipakai oleh Gereja-Gereja di Eropa di bidang katekese, dibawa-masuk oleh
pendeta-pendeta sending ke Indonesia dan dipakai juga dalam Jemaat-Jemaat di
sini. Salah satu dari kebiasaan-kebiasaan itu ialah: katekese yang erat
dihubungkan dengan pengajaran agama di sekolah. Begitu erat hubungan itu di
sini, sehingga pengajaran agama di sekolah dianggap sebagai “pesemaian” dari
katekese Gereja. Hal itu nyata dengan jelas dari ketetapan Sidang Raya Agung,
yang diselenggarakan pada tanggal 6 Agustus – 20 Oktober 1624 di Betawi. Dalam
Sidang Raya itu ditetapkan, bahwa “anak-anak Belanda dan anak-anak yang
bukan-Belanda harus dididik secara Kristen di sekolah-sekolah” dan bahwa “untuk
pengajaran agama selanjutnya anak-anak itu harus mengunjungi pengajaran
katekese Gereja.”
Izin
untuk membuka dan mengusahakan sekolah baru diberikan, kalau orang yang mau
melakukannya telah lulus dari ujian, yang dihadiri oleh wakill-wakil Gereja dan
Pemerintah. Syarat-syarat ujian ialah:
-
Calon guru harus seorang anggota-sidi.
-
Calon guru harus dapat langsung membaca
buku-buku dan surat-surang yang dicetak.
-
Calon guru harus dapat menulis dan
berhitung dengan baik.
-
Calon guru harus dapat menyanyikan
“mazmur-mazmur Daud.”
Untuk
dapat mengajar guru-guru harus menandatangani dahulu “pengakuan-iman
Gereja-Gereja Belanda”, “Katekismus Heidelberg” dan “dasar-dasar ajaran Sinode
Nasional di Dordrecht”. Mereka tidak boleh menyerahkan pekerjaan mereka kepada
guru-guru pembantu. Hal itu hanya diizinkan dalam hal-hal darurat, umpamanya
kalau jumlah murid terlampau besar, sehingga guru-guru tidak dapat memberikan
pengajaran sendiri. Tentang sekolah dan pengajaran ditentukan antara lain
seperti berikut:
-
Sekolah harus dimulai dan diakhiri
dengan doa.
-
Selain daripada menulis dan berhitung murid-murid
harus belajar berdoa, menghafal doa Bapa Kami, dasafirman, ikhtisar Katekismus
Hiedelberg, menyanyikan mazmur-mazmur Daud, dll.
-
Sekolah hanya boleh memakai buku-buku
yang telah disahkan oleh Majelis Gereja dan harus waspada terhadap buku-buku yang
mengandung ajaran bidat atau ajaran lain yang dapat merusak murid-murid
sekolah, baik rohani, maupun jasmani.
-
Guru-guru harus menjaga supaya
murid-murid, baik di dalam, maupun di luar sekolah, tidak boleh menggunakan
perkataan-perkataan kotor, tidak boleh menghujat nama Allah, tetapi sebaliknya
harus berkelakuan baik: haru menghormati “kuasa” di atas mereka: orang tua,
pemerintah, guru-guru dll.
Pada
tahun 1776 Peraturan Sekolah ini diganti dengan suatu Reglemen Sekolah baru.
Tetapi isinya tetap sama: pedagogis dan methodis ia tidak membawa perobahan
apa-apa. Hal itu telah nyata dari pasal 1, dimana kita membaca tentan
ketentuan-ketentuan bagi guru-guru:
-
Mereka harus mengetahui bahasa Belanda.
-
Mereka harus dapat membaca dan menulis.
-
Mereka harus dapat menyanyikan
“mazmur-mazmur Daud”.
-
Mereka harus anggota dari “Gereja
Hervormd”.
Sekolah
ini sebenarnya bukanlah sekolah umum tetapi sekolah agama, semacam “madrasah
Kristen”, yang hanya mempunyai satu buku bacaan dan satu buku pelajaran, yaitu
Alkitab dan Katekismus Heidelberg. Teranglah, bahwa dari sekolah yang semacam
ni tidak dapat diharapkan hasil yang baik, terutama kalau kita ingat, bahwa
yang memberikan pengajaran di situ ialah orang-orang yang tidak cukup mendapat
pendidikan sebagai guru dan yang sangat kecil gajinya. Benar, dalam Reglemen
baru itu kita juga membaca tentang usaha-usaha untuk memajukan sekolah, tetapi
usaha-usaha itu lebih banyak bergerak di bidang keagamaan daripada di bidang
pengajaran. Beberapa usaha itu ialah:
- Guru-guru harus tetap menghadiri ibada-ibadah Gereja dan katekisasi-katekisasi.
- Guru-guru harus memberikan laporan sekali dalam sebulan tentang sekolah kepada penilik sekolah.
- Sekolah harus dikunjungi dua kali setahun oleh penilik-penilik sekolah.
- Sekolah harus berkumpul dua kali setahun dalam Gereja Portugis. Dalam pertemuan-pertemuan itu guru-guru yang rajin mendapat pujian dan menerima hadiah dan guru-guru yang malas mendapat hukuman.
Lanjutan
pengajaran agama di sekolah ialah pengajaran katekese yang diberikan oleh
pendeta-pendeta di Gereja. Theoretic pekerjaan itu diatur dengan baik dan
secara terinci dalam tatagereja-tatagereja. Dan dalam keputusan-keputusan lain
dari Majelis Gereja. Tetapi dalam praktik ia sukar dikerjakan, terutama karena
kekurangan tenaga pendeta. Di beberapa Jemaat Majelis Gereja berusaha mengatasi
kesulitan ini dengan alan mengangkat tenaga-tenaga pembantu. Tetapi secara umum
usaha itu juga tidak banyak menolong: sama sperti guru-guru sekolah,
tenaga-tenaga pembantu ini tidak cukup diperlengkapi, sehingga mereka tidak
dapat menunaikan tugas mereka dengan baik. Untuk sekadar menolong
pendeta-pendeta dan pembantu-pembantu mereka dalam pekerjaan mereka, diusahakan
penterjemahan buku-buku pengajaran katekese yang dipakai dalam Gereja-Gereja di
Belanda. Yang terpenting di antaranya ialah:
a. Bagian-bagian
Alkitab.
-
Injil Matius dan beberapa Mazmur, oleh
A.C. Ruyl (1629).
-
Injil Matius dan Injil Markus, oleh A.C.
Ruyl (1638).
-
Injil Lukas dan Injil Yohanes, oleh J.
van Hazel (1646).
-
Keempat Injil dan Kisah Para Rasul, oleh
J. Heurnius.
-
Limapuluh Mazmur, oleh J. van Hazel dan
diperbaiki oleh J. Heurnius (1648).
-
Seratus limapuluh Mazmur, oleh J.
Heurnius (1652).
-
Kejadian, oleh D. Brouwerius (1662).
-
Perjanjian Baru, oleh D. Brouwerius
(1668).
-
Duapuluh lima Mazmur, oleh G.H. Werndly
(1735).
b. Katekismus
dan buku-buku katekese lain.
-
Ikhtisar dari buku Marnix van St.
Aldegonde, oleh A.C. Ruyl (1602).
-
Ikhtisar dari buku Marnix van St.
Aldegonde dan beberapa karya lain (dalam bahasa Melayu Ambon), oleh F. Houtman.
-
Katekismus Heidelberg, oleh S.
Danckaerts (1623).
-
Katekismus Heidelberg, formulir-formulis
dan doa-doa, oleh J. Roman.
-
Buku Tanya-jawab, oleh Spiljardus.
-
Katekismus, oleh I. Thije (1680).
-
Ikhtisar dari buku Marnix van St.
Aldegonde, oleh S. Danckaertas (1682).
-
Ikhtisar Katekismus, formulir-formulir
dan doa-doa, oleh M. Leydecker (1688).
-
Katekismus (dalam bahasa Melayu Ambon),
oleh Fr. Valentjin (1756).
Salah
satu buku katekisasi yang paling besar dan paling lama memainkan peranan dalam
palayanan Jemaat-Jemaat dari Gereja di Indonesia pada waktu itu ialah
terjemahan dari “buku tanya-jawab” yang ditulis oleh Marnix van St. Aldegonde.
Buku ini mula-mula diterjemahkan oleh A.C. Ruyl dalam “bahasa Melayu yang baik”
(1602), tetapi di beberapa tempat terjemahan itu tidak dapat dipahami orang.
Untuk mengatasi kesulitan ini Houtman mengusahakan suatu terjemahan lain dalam
“bahasa Melayu Ambon”, tetapi terjemahan ini juga sukar dimengerti. Berhubung
dengan itu Danckaerts mengambil keputusan untuk merobah di sana-sini terjemahan
Ruyl, sehingga buku ini dapat berguna untuk anak-anak dan orang-orang Kristen
baru.
F.
Pada
waktu ini
Situasi
katekese dalam Gereja-Gereja kita pada waktu ini berbeda dengan situasi kaekese
dalam Gereja-Gereja itu pada waktu sending. Perbedaan ini terdapat di
berbagai-bagai bidang. Yang terpenting di antaranya ialah di bidang tenaga
pengajar dan buku-buku yang digunakan dalam pengajran katekese. Tenaga-tenaga
pengajar katekese dalam Gereja-Gereja kita pada waktu ini umumnya lebih baik
dipersiapkan daripada tenaga-tenaga pengajar katekese pada waktu sending.
Mereka diperlengkapi dengan rupa-rupa pengetahuan yang mereka butuhkan untuk
pekerjaan mereka, seperti: pengetahuan tentang pengikut-pengikut pengajaran
katekese, pengetahuan tentang dunia mereka, pengetahuan tentang perkembangan
mereka, pengetahuan tentang bahan-bahan katekese yang mereka gunakan, pengetahuan
tentang methode pengajaran, pengetahuan tentang alat-alat pembantu untuk
katekese, dll. Juga buku-buku yang digunakan pada waktu sending. Bbenar, ada
Gereja yang masih tetap menggunakan buku-buku katekese yang dipakai pada waktu
sending tetapi umumnya Gereja-Gereja kita pada waktu ini menggunakan buku-buku
atau bahan-bahan lain.
Di
samping hal yang menggembirakan ini, kita mau menyebut suatu hal lain yang
sangat merugikan pengajaran katekese pada waktu ini, yaitu pangajaran dan
pendidikan agama dalam keluarga-keluarga Kristen. Pengajaran ini terutama pada
waktu reformasi pernah memainkan peranan yang penting. Tetapi pada waktu ini ia
hampir-hampir tidak mendapat perhatian lagi. Yang menyedihkan ialah, bahwa
kenyataan ini tidak dianggap sebagai suatu kerugian, baik oleh orangtua
anak-anak, maupun oleh Gereja.
[1] Bnd 1 Kor 12:3 dan Flp 2:11