Laman

Kamis, 01 Maret 2012

KETERPURUKAN MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA DAN PROFESIONALISME GURU


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latarbelakang
Kenyataan di lapangan mutu pendidik dan tenaga kependidikan masih memprihatinkan. Masyarakat banyak mengkritisi sebagian dari pendidik dan tenaga kependidikan, khususnya guru kurang mampu melaksanakan pembelajaran secara efektif, bermakna dan menyenangkan.
Kondisi objektif di lapangan menunjukkan sebagian guru kurang memahami dan menguasai kurikulum, pelaksanaan evaluasi hasil belajar, pengembangan bahan ajar, serta keterampilan dalam menggunakan metode dan media pembelajaran. Secara nasional, sebagian besar guru SD,SMP,SMA,SMK dan SLB masih kurang sesuai dengan kualifikasi minimal yang ditetapkan.
Program pendidikan dan pelatihan (Diklat) dalam jabatan (in-service training) untuk meningkatkan kualifikasi guru, program penyetaraan D2 untuk guru SD/MI dan D3 untuk guru SMT/MTs, serta diklat lainnya yang berskala luas masih memerlukan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana relevansi dan pengaruhnya terhadap peningkatan mutu pendidikan di Indonesia tercinta ini. Sejauh mana tujuan pendidikan nasional tercapai pun menjadi sesuatu yang patut dipertanyakan.

B.     Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui:
1.      Pendidikan di Indonesia
2.      Permasalahan kependidikan
3.      Tugas seorang guru

C.    Rumusan Masalah

1.      Bagaimana pendidikan di Indonesia
2.      Apa penyebab runtuhnya pendidikan di Indonesia
3.      Apa yang menjadi tugas seorang guru yang profesional

D.    Batasan Masalah
Makalah ini hanya terbatas pada dunia pendidikan di Indonesia sekalipun terdapat sedikit perbandingan dengan Negara lain berdasarkan hasil penelitian.


BAB II
KETERPURUKAN MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA
DAN PROFESIONALISME GURU

A.    Pengertian Pendidikan dan Peran Guru
Definisi pendidikan dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, yakni: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005: “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”

B.     Pendidikan di Indonesia
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa: tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sekolah sebagai organisasi sosial diharapkan mampu memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat mengenai pendidikan berkualitas yang mampu menyiapkan sumber daya yang dapat bersaing dalam percaturan dunia yang semakin kompleks. Namun berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai pihak menunjukkan bahwa produktivitas pendidikan di Indonesia sampai beberapa tahun terakhir belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Tingginya tingkat pengangguran, menurunnya kualitas moral bangsa serta ketertinggalan Indonesia dalam percaturan internasional menunjukkan masih rendahnya produktivitas pendidikan di negara kita. Produktivitas pendidikan di negara kita ditinjau dari aspek administrasi, perubahan perilaku siswa maupun dari aspek  ekonomi masih jauh tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Hasil penelitian United Nation Development Programe (UNDP) pada tahun 2007 tentang indeks pengembangan manusia menyatakan Indonesia berada pada peringkat ke 107 dari 177 negara yang diteliti. Indonesia memperoleh indeks 0,728. Dan jika Indonesia dibanding dengan negara-negara ASEAN yang dilibatkan dalam penelitian, Indonesia berada pada peringkat ke-7 dari sembilan negara ASEAN. Salah satu unsur utama dalam komposit IPM adalah tingkat pengetahuan bangsa atau pendidikan bangsa. Peringkat Indonesia yang rendah dalam kualitas SDM ini adalah merupakan gambaran mutu pendidikan yang rendah.
Keterpurukan mutu pendidikan di Indonesia juga dinyatakan oleh United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), Badan PBB yang mengurus bidang pendidikan. Menurut Badan PBB itu, peringkat Indonesia dalam bidang pendidikan pada tahun 2007 adalah 62 diantara 130 negara di dunia. Education Development Index (EDI) Indonesia adalah 0,935, dibawah Malaysia (0,945). Rendahnya mutu pendidikan Indonesia juga tercermin dari daya saing di tingkat internasional. Daya saing menurut Word Economic Forum, 2007-2008, berada di level 54 dari 131 negara. Malaysia ke-21, Singapura ke-7. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya mutu guru. Rendahnya profesionalitas guru dilihat dari kelayakan guru mengajar baik di negeri maupun swasta. Menurut Balitbang Diknas guru- guru yang layak mengajar untuk tingkat SD 28,94 %, SMP Negeri 54,12 %, SMP Swasta 60,99%, SMA Negeri 65,29 %, SMA Swasta 64,73 %, guru SMA Negeri 55,91 %, Swasta 58,26 %.
Pendidikan adalah modal utama bagi suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang dimilikinya. Sumberdaya manusia yang berkualitas akan mampu mengelola sumber daya alam dan memberi layanan secara efektif dan efisien untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, hampir semua bangsa berusaha meningkatkan kualitas pendidikan yang dimilikinya, termasuk Indonesia. (Dinas Pendidikan Nasional 2008).
Kesadaran pemerintah terhadap pentingnya pendidikan berkualitas dewasa ini semakin nyata, hal ini terbukti dengan meningkatnya perhatian pemerintah terhadap guru dan dosen berupa digulirkannya undang-undang guru dan dosen no.14 tahun 2005 diwujudkan melalui penentuan standar kelulusan bagi peserta didik pada Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas yang telah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir. Hal ini pun mengundang kontroversi yang semakin berkepanjangan serta menimbulkan permasalahan baru dalam dunia pendidikan.
Ketidaksiapan sekolah dalam menerapkan ketetapan pemerintah tersebut menyebabkan timbulnya berbagai kecurangan dan pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional, sehingga kejujuran sistem pendidikan di negara kita ini masih dipertanyakan. Kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan memiliki peran yang sangat besar untuk membawa guru dan tenaga kependidikan lainnya untuk secara bersama-sama melakukan perbaikan dalam segala hal. Tuntutan pemerintah terhadap pendidikan berkualitas harus ditanggapi kepala sekolah dengan memberikan motivasi terhadap guru untuk terus mengembangkan diri serta berbagai potensi yang mereka miliki, serta memfasilitasi mereka agar terus belajar dan berkarya dengan penuh semangat dan kejujuran.
Pelaksanaan program sertifikasi belum dapat dinilai keberhasilannya, namun selama program tersebut berlangsung, program tersebut belum memberikan kontribusi positif bagi perwujudan sekolah produktif, tetapi lebih mengarah kepada peningkatan kesejahteraan guru. Tidak sedikit guru yang telah lulus sertifikasi namun kinerjanya tidak meningkat, artinya program sertifikasi guru dan dosen tidak menjamin bahwa produktivitas pendidikan kita akan meningkat.
Kesadaran guru terhadap peningkatan kompetensi profesional serta kualitas kinerjanya harus dilandasi komitmen yang kuat terhadap sekolah sebagai organisasi tempat mereka bekerja dan mengamalkan ilmunya. Komitmen guru sangat diperlukan demi keberlangsungan sekolah sebagai organisasi pendidikan. Salah satu upaya mewujudkan komitmen yang kuat terhadap organisasi adalah bagaimana kepala sekolah sebagai pemimpin mengkondisikan guru dan tenaga kependidikan lainnya untuk bekerja dan melaksanakan tugasnya sesuai harapan kepala sekolah sebagai pemimpin dalam organisasi pendidikan. Rendahnya komitmen guru memberikan kerugian tidak hanya kepada guru sebagai individu tetapi juga kepada siswa sebagai pengguna jasa pendidikan.

C.    Penyebab Runtuhnya Pendidikan di Indonesia
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab runtuhnya pendidikan di Indonesia:
  • Negara memang belum menjalankan amanat Undang-Undang Dasar negara kita secara konsekuen dan bertanggung jawab. Kecilnya anggaran pendidikan, belum lagi dikorupsi sana-sini, berpengaruh besar pada mahalnya biaya Pendidikan Dasar - Menengah yang harus ditanggung oleh rakyat. Di banyak negara untuk sekolah negeri dari SD-SMU gratis. Dampaknya juga pada nasib guru, baik kesejahteraan secara materiil (gaji, honor, dll.), maupun pembinaan lanjut untuk meningkatkan kualitas kinerja guru (penataran, pelatihan, dll). Adalah tidak masuk akal mengharapkan kualitas pengajaran yang bagus dari guru yang miskin harta dan miskin pengetahuan atau ketrampilan. Sebaliknya jangan salahkan guru yang terpaksa “ngojek” untuk mencari tambahan biaya hidup.
  • Ketika menjadi guru bukan lagi pilihan hidup. Harus diakui, bahwa faktor psikologis dan kecintaan seorang guru terhadap bidang pekerjaannya sebagai guru akan memberi pengaruh besar pada kualitas proses belajar mengajar dan pembinaan siswa di sekolah. Kecintaan pada pekerjaan sebagai guru ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang memang memilih jadi guru. Bagaimana seseroang bisa memiliki kecintaan ini kalau dia menjadi guru karena terpaksa?
  • Lisensi keguruan. Guru atau dosen adalah sebuah profesi akademis, bukan bakat alami. Artinya tidak semua orang bisa menjadi guru atau dosen. Sebagai contoh: seorang ahli mesin tidak serta merta bisa jadi dosen tehnik mesin kalau dia tidak memiliki ilmu mengajar. Demikian juga seorang sarjana ekonomi tidak serta merta bisa menjadi guru ekonomi. Memang dia ahli dalam mesin dan ekonomi, tetapi dia tidak memiliki keahlian dalam ilmu mengajar. Ketimpangan ini akan berpengaruh pada kualitas pengajaran yang ia berikan dan tentunya juga berpengaruh pada siswa. Itu sebabnya, mestinya untuk menjadi guru atau dosen seseorang harus memiliki lisensi sebagai guru/dosen. Lisensi ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah menempuh pendidikan keguruan. Dia adalah seorang pädagogie (pengajar/pendidik), minimal dia harus menguasai ilmu didaktik, metode mengajar dan psikologi.
  • Ketika tenaga guru tidak sebanding dengan jumlah murid/kelas. Ayah saya sebelum menjadi kepala sekolah di sebuah SD Inpres di Minahasa Utara, menjadi tenaga pengajar (guru) di sekolah tersebut, beberapa tahun yang lalu. Di sekolah yang memiliki 6 kelas (kelas I-VI) hanya ada 2 orang guru (1 kepala sekolah yang merangkap guru kelas I-III dan 1 guru kelas IV-VI [ayah saya]). Jadi masing-masing guru mengajar 3 kelas sekaligus. Dalam situasi seperti ini juga adalah tidak realistis menuntut kualitas pendidikan.
Malapetaka penyebab hancurnya pendidikan di Indonesia juga dirancang oleh pemerintah sendiri, ketika hanya bidang studi tertentu saja seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika yang diuji dalam UAN. Kebijakan ini merupakan kesalahan fatal yang dilakukan pemerintah. Metode atau sistem ujian ini tidak hanya tidak mengukur kemampuan belajar siswa secara menyeluruh, tetapi juga akan menyebabkan bencana lainnya seperti: rendahnya tingkat keseriusan siswa mengikuti pelajaran lain yang tidak termasuk dalam mata pelajaran yang diuji dalam UAN. Secara psikologis juga guru-guru mata pelajaran yang tidak termasuk dalam UAN bisa merasa rendah diri, jengkel, frustasi, dll., dan itu akan menurunkan semangat mengajar, sehingga mengajar hanya asal-asalan (karena tidak punya beban atau karena kecewa?), juga mungkin siswa tidak respek pada guru-guru tsb. Lalu secara ekonomis, dengan maraknya sistem les privat, membuat guru-guru mata pelajaran UAN menjadi primadona. Guru-guru tersebut mendapat banyak murid les dan ini berarti penambahan pendapatan yang lumayan. Itu bagus bagi guru tersebut. Tetapi tidak baik bagi guru-guru lain. Bisa menimbulkan iri hati, dll., dan akhirnya menggangu keharmonisan antar guru di sekolah.

D.    Profesional
Guru profesional adalah guru yang mengenal tentang dirinya. Yaitu bahwa dirinya adalah pribadi yang dipanggil untuk mendampingi peserta didik untuk/dalam belajar. Guru dituntut untuk mencari tahu terus-menerus bagaimana seharusnya peserta didik itu belajar. Maka apabila ada kegagalan peserta didik, guru terpanggil untuk menemukan penyebab kegagalan dan mencari jalan keluar bersama dengan peserta didik; bukan mendiamkannya atau malahan menyalahkannya.
Proses mendampingi peserta didik adalah proses belajar. Karena sekolah merupakan medan belajar, baik guru maupun peserta didik terpanggil untuk belajar. Guru terpanggil untuk bersedia belajar bagaimana mendampingi atau mengajar dengan baik dan menyenangkan; peserta didik terpanggil untuk menemukan cara belajar yang tepat.
Medan belajar adalah medan yang menyenangkan, bukan menyiksa apalagi mengancam. Oleh karena itu, yang harus terlibat dalam medan belajar adalah hati atau lebih daripada budi. Jadi perkara belajar adalah perkara hati dan budi; memberikan penekanan pada peran budi semata- mata seperti yang lazim terjadi pada saat ini akan merintangi kemajuan pendidikan.
Menjadi guru bukan sebuah proses yang yang hanya dapat dilalui, diselesaikan, dan ditentukan melalui uji kompetensi dan sertifikasi. Karena menjadi guru menyangkut perkara hati, mengajar adalah profesi hati. Hati harus banyak berperan atau lebih daripada budi. Oleh karena itu, pengolahan hati harus mendapatkan perhatian yang cukup, yaitu pemurnian hati atau motivasi untuk menjadi guru.
Memang harus disadari bahwa kondisi guru seperti yang tercermin pada temuan di atas harus menjadi keprihatinan bersama. Kondisi itulah yang harus dihadapi, bukan menjadi ajang untuk menyangkal atau malahan untuk menyalahkan pihak-pihak tertentu (yang tidak ada manfaatnya sama sekali). Dari itu semua yang paling berkepentingan adalah pribadi guru sendiri. Namun, itu sekaligus pula jangan sampai untuk mematahkan semangat rekan guru yang masih ingin menghidupi keguruannya.
Sikap yang harus senantiasa dipupuk adalah kesediaan untuk mengenal diri dan kehendak untuk memurnikan keguruannya. Mau belajar dengan meluangkan waktu untuk menjadi guru. Seorang guru yang tidak bersedia belajar tak mungkin kerasan dan bangga jadi guru. Kerasan dan kebanggaan atas keguruannya adalah langkah untuk menjadi guru yang profesional.
Adapun kode etik guru Indonesia yaitu:
  1. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia indonesia seutuhnya berjiwa Pancasila;
  2. Guru memiliki dan melaksanakan kewjujuran professional;
  3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan’
  4. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar mengajar’
  5. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan tanggung jawab bersama terhadap pendidikan;
  6. Guru secara pribadi dan secara bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya;
  7. guru memelihara hubungan profesi semangat kekeluargaan dan kesetiakawanana nasional;
  8. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organiosasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian;
  9. Guru melaksanaakn segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Keterpurukan mutu pendidikan di Indonesia, tidaklah lepas dari kesadaran setiap guru akan profesi dan keterpanggilannya sebagai seorang tenaga professional yang hendak menyalurkan nilai-nilai kehidupan guna masa depan peserta didik yang lebih baik. Saya sangat senang dengan ungkapan “peserta didik hari ini adalah pemimpin masa depan.” Bagaimana kepemimpinan bangsa Indonesia ini akan lebih baik jika calon pemimpinnya didik oleh tenaga pendidik yang tidak berkualitas?
Namun sebenarnya persoalan guru tidak berasal dari internal guru saja, yang paling dominan justru faktor eksternal (ekonomi dan politik). Apakah yakin martabat guru akan naik setelah diproklamasikan sebagai profesi, bila proses perekrutan guru CPNS diwarnai suap? Untuk itu mencegah penerimaan guru CPNS dengan menggunakan uang suap sangatlah penting. Bila proses perekrutan guru CPNS sudah bersih dari KKN, barulah guru bisa lebih profesional dan bermartabat, karena menjadi guru berkat kemampuannya, bukan karena menyuap.

B.     Saran
Kesejahteraan guru dalam hal ekonomi dan pengetahuan, terutama untuk guru di sekolah negeri (mestinya juga dalam skala tertentu untuk sekolah swasta), memang adalah tanggung jawab negara, bukan tanggung jawab orang tua murid. Orang tua murid bisa diminta partisipasi, tetapi porsinya harus tetap kecil. Barulah akan tercipta guru yang profesional karena ekonomi salah satu penyebab terpuruknya profesionalisme guru di Indonesia.


SUMBER


Tidak ada komentar:

Posting Komentar